Kunjungan wisatawan mancanegara melalui Bandara Husein Sastranegara melonjak tajam pada April lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jika disandingkan April 2015, kedatangan pelancong asing di Bandung naik 82,5 persen.
Bahkan, bila dibandingkan bulan sebelumnya, pengunjungnya melejit hingga 94,6 persen, yakni mencapai 30.806 kunjungan. “Ini kenaikan tertinggi sepanjang sejarah,” kata Kepala BPS Suryamin di kantornya, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016.
Menurut dia, ada dua alasan yang menyebabkan kunjungan turis asing ke Jawa Barat meningkat. Pertama, perluasan bandara dan perpanjangan landasan pacu. Kedua, ada promosi tarif angkutan udara dari Malaysia. (Baca: Belasan BUMN Kembangkan Pariwisata Daerah).
Dua faktor tersebut berdampak signifikan terhadap kenaikan kunjungan. Sebagian besar dari mereka datang untuk berbelanja kebutuhan Ramadhan dan perlengkapan pesta perkawinan.
Sebagian besar pendatangnya dari Malaysia untuk membeli produk-produk jelang puasa di Bandung. Ini juga masuk musim pernikahan, jadi beli alat-alatnya di sana,” ujar Suryamin.
Selain itu, Suryamin menyatakan, kunjungan wisatawan mancanegara pada April lalu di Bandara Kuala Namu, Medan naik 16 persen dibanding bulan sebelumnya, dan 12,4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Hal yang sama terjadi di Bandara Ngurah Rai, Bali dan Juanda, Surabaya masing-masing 3,6 dan 1,6 persen dibanding Maret 2016, serta 18,6 dan 13,2 persen dibanding tahun lalu.
Adapun jumlah kunjungan turis luar negeri melalui Bandara Batam menurun 0,19 persen dibanding April 2015, tapi naik 0,2 persen dari bulan sebelumnya. Sementara kunjungan melalui Bandara Soekarno-Hatta naik 17,8 persen dibanding tahun lalu dan menurun tujuh persen dibanding bulan sebelumnya.
Secara total, pada April kemarin, kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 901,1 ribu. Realisasi ini meningkat 12,4 persen dibanding periode sama 2015, tetapi menurun 1,5 persen dari bulan sebelumnya. Data BPS mencatat, jumlah kunjungan melalui 19 pintu utama masih menunjukan kinerja positif dibanding tahun lalu, tetapi terkontraksi 0,6 persen dari Maret 2016. Sedangkan lawatan wisman di luar pintu masuk utama tumbuh negatif baik dibanding tahun lalu ataupun bulan sebelumnya.
Pada April itu, pelancong paling banyak datang dari Singapura yang mencapai 15,5 persen, kemudian disusul oleh wisatawan asal Malaysia 13,4 persen. Adapun pelancong dari Cina mencapai 11,9 persen, Australia 10,7 persen, dan Jepang 5,1 persen. (Baca: Pariwisata Dibuka Bagi Asing, Darmin: Pengusaha Jangan Takut Kehabisan).
Bank Pembangunan Asia sempat memberi perhatian khusus atas perkembangan pariwisata di Indonesia. Country Director ADB untuk Indonesia Steven R. Tabor menekankan agar Indonesia tak bertumpu pada satu sektor dalam menggerakkan ekonomi. Pemerintah perlu mendiversifikasi faktor pendorongnya.
Misalnya, memacu pertumbuhan sektor perikanan, pariwisata, atau manufaktur. Untuk pariwisata, potensi besar akan datang dari dari Cina. Data ADB menyebutkan negara tersebut telah mencetak 30 juta paspor baru pada tahun ini. Dengan fakta itu, semestinya pemerintah bisa memanfaatkanya. “Mereka ke Hongkong sudah bosan. Seharusnya ke mana? Ini yang harus diupayakan,” ujarnya.
Menurutnya, pertumbuhan pariwisata Indonesia melejit begitu fantastis. Isu sosial, bahkan keamanan, tak menyurutkan minat wisatawan untuk bertandang ke bumi persada. Sebagai contoh, ketika Jakarta digegerkan oleh ledakan bom dan aksi tembakan di Sarinah pada pertengahan Januari lalu, tingkat kedatangan para pelancong tak menyusut. Alhasil, investasi di sektor pariwisata seperti hotel tetap berkembang.
Penjelasan serupa disampaikan Emma Allen. Ekonom ADB untuk Indonesia ini mengatakan pemerintah bisa mendorong sektor pariwisata dan e-commerce. Emma menyebutkan, kontribusi pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 4,2 persen pada 2014. (Baca: Investor Arab Lirik Kawasan Wisata Mandalika dan Tanjung Lesung).
Porsinya ditargetkan meningkat menjadi lima persen pada tahun ini, dan delapan persen pada 2019. Pendapatan sektor ini juga diramal terus meningkat dari Rp 134 triliun pada 2014, menjadi Rp 172 triliun dan Rp 240 triliun pada 2016 dan 2019.