Pelaksanaan otonomi daerah di negeri ini memiliki sejarah panjang dengan segala dinamikanya. Era Reformasi menjadi angin segar bagi cara baru berpemerintahan di aras lokal. Desentralisasi membuka struktur kesempatan baru bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur dan mengelola urusan sendiri.
Setiap daerah tentu diharapkan bisa membuat kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui instrumen kebijakan dan fiskal, Pemda membangun daerahnya, menghadirkan sumber-sumber pertumbuhan dan pusat kegiatan ekonomi baru.
Mengacu hasil studi Asian Competitiveness Institute yang dikeluarkan pada 2019, 10 besar provinsi dengan skor daya saing tertinggi tidak hanya dihuni perwakilan dari Pulau Jawa yang selama ini menjadi pusat perekonomian. Secara rinci peringkat pertama diduduki DKI Jakarta. Kemudian disusul Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Pada peringkat keenam ada Banten, lalu secara berurutan dihuni Bali, Sulawesi Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Di balik itu memang masih ada ketimpangan yang tinggi antara DKI Jakarta di peringkat pertama (skor 3,5) dibandingkan dengan Papua Barat di peringkat 33 (skor minus 1,9). Oleh karenanya ruang untuk berkembang perlu didorong.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), ruang kesempatan untuk berkembang hanya bisa dimanfaatkan jika daerah memiliki modalitas kuat dan berdaya saing.
“Membangun daerah, terutama dalam merespon tantangan global di masa depan tentu tidak hanya mengandalkan cara-cara biasa (business as usual),” seperti dikutip dalam kajian KPPOD bertajuk “RUU Cipta Kerja: Momentum Agregasi Daya Saing Daerah Berkelanjutan”. Kajian ini merupakan bagian dari laporan Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan.
Daya saing berbasis inovasi, di mana titik tumpunya adalah efisiensi dan produktivitas dari semua stakeholders menjadi kunci memenangkan persaingan antardaerah (domestik). Bahkan bersaing dengan daerah di negara-negara lain. Pasalnya jika daerah memiliki daya saing yang kompetitif maka daya saing nasional bisa terdongkrak.
Dengan mengintegrasikan konsep daya saing dengan aspek kelestarian (lingkungan) dan pembangunan inklusif (sosial), KPPOD mencoba memetakan indeks daya saing daerah berkelanjutan (IDSDB). Terdapat empat pilar utama sebagai komponen pembentuk: keberlanjutan lingkungan, ekonomi berdaya saing, sosial inklusif, dan tata kelola yang baik. Indeks tersebut bertujuan mengukur tingkat produktivitas, kemajuan, persaingan dan kemandirian suatu daerah.
Pertama, pilar keberlanjutan lingkungan. Ini adalah sebuah dimensi pembangunan yang memastikan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dilakukan secara efisien. Pembangunan diarahkan sesuai prinsip keberlanjutan yang mencakup variabel kualitas lingkungan hidup, pengelolaan SDA lingkungan, konservasi, dan resiliensi lingkungan.
Kedua, pilar ekonomi berdaya saing yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah yang berkembang tentu dapat menciptakan peluang dan menyerap tenaga kerja. Ini tentu selaras dengan upaya pemerintah pusat untuk menekan angka pengangguran. Selama lima tahun terakhir angka pengangguran mengalami penurunan. Pada 2015 jumlah pengangguran sebanyak 7,56 juta jiwa dan pada 2019 sebanyak 7,05 juta jiwa.
Adapun variabel pilar ekonomi berdaya saing terdiri dari struktur ekonomi, potensi ekonomi, kemampuan keuangan daerah, ekosistem investasi, dan infrastruktur ekonomi.
Ketiga, pilar sosial inklusif yang menempatkan kemandirian individu sebagai modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang ideal. Variabelnya terdiri dari keunggulan sumber daya manusia (SDM), ketenagakerjaan, kondusivitas keamanan, dan ketersediaan infrastruktur sosial.
Keempat, tata kelola pemerintahan yang akuntabel, efektif dan efisien. Ini merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan kinerja pembangunan. Variabelnya terdiri dari kelembagaan, pelayanan publik, dan kebijakan.
Empat pilar tersebut merupakan faktor penting untuk mewujudkan daya saing daerah berkelanjutan. Namun praktiknya terancam kontraproduktif dengan adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Misalnya dalam pilar keberlanjutan lingkungan. Salah satu hal yang diatur RUU Cipta Kerja ialah perpindahan otoritas pemberian perizinan lingkungan dari daerah ke Pemerintah Pusat.
Menurut KPPOD, pergeseran locus kewenangan tersebut memiliki dampak serius dari perspektif otonomi hingga sisi teknis pelayanan perizinan. Kelemahannya adalah pelaksanaan di lapangan tidak selalu berjalan efektif lantaran keterbatasan kapasitas birokrasi. Selain itu, kerangka regulasi nasional yang tak solid menimbulkan ketidakpastian acuan prosedur, waktu dan biaya bagi penyelenggaraan tata laksana oleh Pemerintah Daerah.
Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian. Kebijakan lain yang bersifat kontraproduktif bagi pengembangan daya saing daerah berkelanjutan di dalam RUU Cipta Kerja perlu diminimalisir. Dengan begitu semangat otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat bisa terpenuhi. Dengan itu pula, visi ekonomi hijau yang inklusif bisa mewujud.