Mengenal Suku Toraja yang Memiliki Upacara Pemakaman Unik

ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc.
Sejumlah tau-tau berada di area kuburan di dinding tebing di kawasan wisata Ketekesu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Rabu (16/12/2020). Sejak ditetapkan jadi wilayah Zona Hijau di akhir Oktober lalu, sejumlah tempat wisata di Toraja Utara mulai ramai dikunjungi wisatawan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Penulis: Niken Aninsi
Editor: Intan
26/10/2021, 08.25 WIB

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500 ribu atau setengahnya tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.

Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara beberapa menganut agama Islam dan keyakinan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui keyakinan ini sebagai bagian dari agama Hindu Dharma.

Asal Nama Toraja

Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Toraja. Orang Bugis-Sidenreng menyebutnya dengan nama to riajang yang artinya ‘orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan’.

Masyarakat Luwu pada zaman Belanda menamakannya to riaja yang berarti ‘orang yang berdiam di sebelah barat’.

Sementara itu, versi lain menyebutkan nama Toraja berasal dari toraya. Asal katanya to dari tau yang berarti ‘orang’ dan raya dari kata marau yang berarti ‘besar’. Jadi, toraya bermakna orang besar atau bangsawan.

Berdasarkan mitos yang beredar di masyarakat, Toraja dahulu merupakan sebuah negeri otonom. Namanya Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo. Artinya, negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar seperti bentuk bulan dan matahari.

Kebudayaan Suku Toraja

Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah norma budaya tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, kebanyakan dihadiri oleh ratusan orang dan berlaku selama beberapa hari.

Sebelum ratus tahun ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka menganut animisme dan belum tersentuh oleh alam luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.

Setelah semakin terbuka kepada alam luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.

Penduduk Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi adat, dari penduduk dengan kepercayaan tradisional dan agraris, menjadi penduduk yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Pemakaman Suku Toraja

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa masyarakat Suku Toraja masih menganut kepercayaan Aluk To Dolo. Itu merupakan agama/aturan dari leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh Sang Pencipta yakni Puang Matua.

Dalam kepercayaan ini manusia diwajibkan menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua dengan melakukan ritual, antara lain sajian, persembahan, dan upacara-upacara.

Biasanya suku Toraja memberikan babi ataupun ayam sebagai persembahan kepada para Dewata atau Dewa sebagai pemelihara utusan Puang Matua. Upacara-upacara adat lain yang sering dilakukan oleh Suku Toraja ialah rambu solo yang merupakan upacara adat pemakaman dan rambu tuka yang merupakan upacara untuk merenovasi rumah adat.

Rumah Adat Suku Toraja

Ada dua jenis rumah (banua) yang dikenal masyarakat Toraja, yaitu banua tongkonan dan banua barung-barung. Banua tongkonan adalah rumah adat keluarga suku Toraja.

Rumah adat ini berbentuk panggung dengan atap melengkung seperti perahu. Sementara itu, banua barung-barung adalah rumah pribadi setiap orang Toraja. Bentuk banua barung-barung tidak terikat seperti banua tongkonan. Namun, ada juga orang yang membangun rumah pribadi dengan bentuk seperti tongkonan. Walaupun bentuknya sama, rumah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tongkonan.

Istilah tongkonan berasal dari kata tongkon yang artinya menduduki atau tempat duduk. Sementara matongkon berarti duduk berkumpul. Dari sinilah muncul kata tongkonan yang merupakan tempat tinggal penguasa adat sebagai tempat berkumpul.

Tongkonan terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan atau keturunan. Awalnya, sepasang suami istri membangun rumah sendiri atau bersama anak dan cucunya.

Rumah itu kemudian menjadi tongkonan dari semua orang yang berada dalam garis keturunan suami-istri tersebut. Oleh karena itu, tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu, tetapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.

Melalui hubungan tongkonan, masyarakat Toraja dapat dengan mudah menelusuri garis keturunannya. Tidak menutup kemungkinan seseorang berasal lebih dari satu tongkonan. Hal itu disebabkan oleh adanya pertalian kekerabatan dalam bentuk pernikahan antara dua tongkonan.

Tongkonan merupakan pusat kepemimpinan di bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Pemimpin tongkonan adalah pemangku atau penanggung jawab aluk/pamali (to siriwa aluk sola pemali). Ia juga merupakan pengawal ukuran tata kehidupan (to sikambi’ sukaran aluk). Oleh karena itu, seorang pemimpin tongkonan wajib menjamin berlakunya ketentuan-ketentuan aluk dan adat.

Dalam kehidupan masyarakat Toraja, tongkonan menjadi sumber rujukan dan penyelesaian masalah bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Berbagai pertanyaan dan informasi masalah sosial, budaya, dan keagamaan dapat diperoleh di sana.

Segala konflik dan perselisihan pun dapat diselesaikan di sana. Hal ini sesuai dengan filosofi peletakan tangga masuk tongkonan yang berada di sisi kiri. Masyarakat dengan berbagai pertanyaan dan permasalahannya memasuki tongkonan dari sisi kiri.

Setelah di dalam tongkonan, mereka dapat menanyakan permasalahannya kepada pimpinan tongkonan. Pihak-pihak yang berselisih pun dapat mencari penyelesaiannya dengan berdiskusi di dalam tongkonan.

Setelah ditemukan jawaban dan penyelesaian masalahnya, mereka keluar dari sisi kanan. Jadi, orang memasuki tongkonan dengan berbagai masalah, begitu keluar ia sudah menemukan solusinya.