Hingga September, Lifting Migas Hanya Capai 89% dari Target APBN

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi, logo Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). SKK Migas mencatat lifting dan investasi migas hingga September belum mencapai target APBN 2019.
24/10/2019, 15.24 WIB

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi produksi siap jual (lifting) migas hingga September 2019 sebesar 1,8 juta barel setara minyak per hari (boepd). Capain tersebut hanya 89 persen dari target APBN tahun ini sebesar 2 juta boepd.

Rinciannya, lifting minyak sebesar 745 ribu barel per hari (bopd) dan lifting gas 1,05 juta boepd. Sebesar 84 persen total lifting hulu migas merupakan kontribusi dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama, diantaranya ExxonMobil, Chevron, Pertamina, BP, ConocoPhillips, Medco Energi, Eni, dan Petrochina.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan salah satu faktor yang membuat lifting migas tak tercapai karena harga gas yang rendah. Sehingga pihaknya memutuskan menyimpan gas dibanding menjualnya ke pasar.

Hal tersebut berdampak pada pengurangan produksi, terutama di Kilang LNG Bontang, Tangguh, dan Donggi Sonoro. "Karena harga rendah, maka kami kurangi. Tantangan ini, apakah harga rendah kami jual saja atau simpan dulu," kata Dwi dalam konferensi pers capaian kinerja hulu migas kuartal tiga di kantor SKK Migas, Kamis (23/10)

(Baca: Menteri ESDM Arifin Tasrif Bakal Fokus Benahi Defisit Migas)

Deputi Keuangan dan Monetasi Arief Setiawan Handoko menambahkan realisasi lifting  gas tidak mencapai target karena ada pembatalan pembelian dan penundaan penjualan LNG. "Harga LNG drop terus sampai US$ 4 per mmbtu, kami tidak mungkin menjual karena beda kontrak dengan pembeli," ujar Arif.

Selain harga gas, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera membuat produksi Blok Rokan terhenti. Padahal Blok Rokan menjadi penyumbang lifting minyak kedua terbesar saat ini. 

Ditambah lagi dengan bocornya sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). "Kejadian ONWJ seharusnya ada tambahan produksi dan lifing migas, tapi tidak jadi,"ujar Dwi.

Berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak per akhir September 2019 mencapai 750,5 ribu barel per hari (BOPD). Realisasi produksi minyak lebih rendah dari target produksi siap jual (lifting) minyak tahun ini sebesar 775 ribu BOPD. Sedangkan produksi gas bumi hingga kuartal tiga 2019 mencapai 1,285 juta BOEPD atau setara 7.470 MMSCFD. Produksi gas lebih besar dari target lifting gas tahun ini sebesar 7.000 MMSCFD.

Sejauh ini SKK Migas belum mampu meningkatkan lifting migas nasional. Pemerintah bahkan menargetkan lifting hanya sebesar 734 ribu bopd, lebih rendah 5,29% target tahun tahun ini sebesar 775 ribu barel per hari. Demikian pula lifting gas dipatok 1,19 juta boepd, lebih rendah 4,72% dari APBN 2019. Selengkapnya dalam Databoks berikut ini :

Target Investasi Belum Tercapai

Lifting migas yang belum mencapai target juga berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 mencapai US$ 10,99 miliar. “Hal ini juga dipengaruhi ICP yang sebesar US$ 60-an per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70 per barel,” ujar Dwi.

Untuk investasi hulu migas hingga September 2019 hanya mencapai US$ 8,4 miliar, sekitar 57 persen dari target tahun ini sebesar US$ 14,7 miliar. Namun, SKK Migas mencatat capaian tersebut lebih tinggi 11 persen dibandingkan investasi di kuartal tiga 2018 sebesar US$ 7,6 miliar.

Dwi menyebut pihaknya bakal terus berusaha meningkatkan investasi hulu migas. "Investasi semakin besar diinginkan Pak Presiden," ujarnya.

SKK Migas mencatat ada 42 proyek utama hulu migas hingga 2027 dengan total nilai investasi mencapai US$ 43,3 miliar dan proyeksi pendapatan kotor (gross revenue) sebesar US$ 20 miliar. Total produksi dari 42 proyek tersebut 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 ribu MMSCFD.

Berdasarkan Databoks, investasi hulu migas mengalami tren penurunan dalam sejak 2015. Pada 2014, investasi hulu migas di Indonesia mencapai US$ 20,4 miliar.

Capaian tersebut juga merupakan level tertinggi investasi hulu migas seiring naiknya harga minyak mentah dunia hingga di atas US$ 100/barel. Namun setelah itu, investasi terus mengalami penurunan. Selengkapnya dalam grafik di bawah ini :

Reporter: Verda Nano Setiawan