PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) saat ini sedang mengkaji jumlah cadangan rare earth (REE) atau logam tanah jarang di Indonesia. Tanah jarang merupakan bahan baku dalam pembuatan elektronik berteknologi tinggi seperti mesin jet, peralatan militer, satelit sistem pengarah misil, hingga laser.
Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi REE. Menurutnya, studi ini memerlukan waktu selama 18 bulan sampai bisa mengetahui berapa besar potensi logam tanah jarang di Indonesia yang berasal dari komoditas bauksit dan timah.
"Kami masih teliti, tapi kami sudah identifikasi, sekarang sudah mengerti sekali," ujarnya, saat ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (8/7).
Budi juga mengatakan, Inalum berpeluang bekerja sama dengan Tiongkok dalam pengembangan REE. "Karena mereka yang paling maju untuk ekstraksinya, tapi pasti REE Indonesia akan disukai," kata dia. Menurutnya, Tiongkok saat ini merupakan negara produksi logam tanah jarang terbesar di dunia.
(Baca: Divestasi Masih Bergulir, Vale Diminta Lengkapi Dokumen Valuasi Saham)
Sebelumnya, Dewan Penasehat Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius menyatakan Indonesia memiliki potensi rare earth (REE) atau logam tanah jarang yang tinggi, namun pengembangannya sangat minim. Jika dioptimalkan, bukan tak mungkin Indonesia bisa menggantikan Tiongkok sebagai negara pengekspor REE ke Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan Global Times, AS menghadapi risiko pembatasan ekspor REE oleh Tiongkok sebagai aksi balasan perang dagang yang dilancarkan Presiden Donald Trump.
Menurutnya, kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur cincin api membuat potensi keberadaan mineral, termasuk REE, besar sekali. Dalam beberapa tahun terakhir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan PT Timah Tbk baru mulai mengembangkan REE.
Potensi REE bisa berada di bagian barat Sumatera, dari Aceh hingga Lampung. Namun, REE di Pantai Barat Sumatera sebagian besar sudah menjadi plaser rombakan granit di pantai. Sedangkan REE Bayan Obo yang berada di Tiongkok telah ditemukan pertama kali pada 1927 oleh Profesor Ding Dao Heng. Sejak saat itu REE terus berkembang di Tiongkok selama 92 tahun. "Jadi, itulah kenapa saya bilang, kita tertinggal jauh sekali," ujarnya, kepada Katadata.co.id, Selasa (18/6) lalu.
(Baca: Holding Inalum Jajaki Kerja Sama Hilirisasi dengan Perusahaan Tiongkok)
Di pihak lain, Jepang juga mengklaim telah menemukan cadangan REE yang besar bercampur dengan sedimen lempung di palung atau di laut dalam sebelah timur negara itu. Berdasarkan informasi, cadangan REE di Jepang juga cukup besar hingga tidak perlu bergantung lagi kepada Tiongkok.