Rizal juga menilai teknologi FLNG menghabiskan investasi senilai US$ 19,3 miliar atau lebih mahal ketimbang di darat yang menurutnya hanya menghabiskan US$ 14,8 miliar. Bahkan, Rizal berani mengklaim kilang akan dibangun di darat meski belum ada keputusan apapun. "Keputusan itu diambil setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati, dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak," kata Rizal pada Februari 2016. 

Pernyataan Rizal sempat membuat adanya perbedaan di tingkat pemerintah, antara dirinya dengan Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas saat itu yakni Sudirman Said dan Amien Sunaryadi. Amien saat itu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004. Dalam aturan tersebut, yang berwenang menyetujui atau menolak rencana pengembangan atau plan of development (POD) suatu blok migas, seperti Blok Masela, adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Sementara Menteri ESDM Sudirman Said masih menunggu arahan dari Jokowi untuk memutuskan skema pengembangan blok ini. Apalagi investasi Masela merupakan salah satu proyek migas besar yang ada di Indonesia. "Jadi bukan (diputuskan) Menteri Koordinator,” kata Amien yang menganggap skema FLNG merupakan yang paling ideal.

(Baca: Seteru di Balik Kisruh Pengembangan Blok Masela)

Yang ditunggu akhirnya datang, pada Maret 2016 Jokowi memutuskan pengembangan Blok Masela dengan skema onshore. Dalam pengumuman yang dilakukan di Bandara Supadio, Kalimantan Barat, Jokowi beralasan dua pertimbangan yang mendasari keputusan ini. 

Pertama,  perekonomian daerah dan perekonomian nasional bisa terimbas dari adanya pembangunan proyek Blok Masela. Kedua, dengan proyek ini wilayah sekitar regional Maluku juga bisa ikut berkembang pembangunannya. "Dari kalkulasi, perhitungan dan pertimbangan yang sudah saya hitung, kami putuskan dibangun di darat," kata Jokowi. 

Inpex dan Shell (pemegang hak partisipasi 35 persen) yang menginginkan FLNG, akhirnya mengikuti arahan Jokowi, begitu pula Sudirman dan Amien. Meski begitu, kajian desain awal (Pre Front End Engineering Design/FEED) belum juga diselesaikan Inpex hingga beberapa tahun. Padahal, ini merupakan tahapan yang penting dalam revisi proposal PoD Blok Masela. Menteri ESDM pun berganti  dari Sudirman ke Arcandra Tahar dan akhirnya Ignasius Jonan yang dilantik pada Oktober 2016.

Enam bulan usai dilantik, Jonan mengancam mencabut izin Inpex, lantatan kajian desain awal atau Pre-FEED pengembangan Blok Masela tak kunjung diselesaikan. "Sudah enam bulan saya di ESDM tidak jalan-jalan, kalau kelamaan saya cabut (izin) Inpex," kata Jonan Mei 2017. Dengan skema darat, sebenarnya pemerintah menaksir proyek Masela baru bisa beroperasi 2027. 

(Baca: Proposal Pengembangan Blok Masela Terbentur Tingkat Keekonomian)

Ancaman Jonan memiliki dasar, karena proyek ini sebenarnya telah masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikawal pemerintah. Belakangan Pre-FEED baru dijalankan Inpex pada Maret 2018 dan selesai Oktober 2018 yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan PoD. Saat itu Jonan mulai berani menaksir angka investasi pengembangan Blok Masela di kisaran US$ 20-21 miliar.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menargetkan PoD dapat selesai paling lambat bulan depan. Adapun Inpex hingga saat ini belum bisa berkomentar soal rencana investasi yang disepakati bersama Jonan, meski mengkonfirmasi adanya diskusi yang konstruktif di Tokyo. "Kami belum bisa berkomentar lebih jauh," ujar Specialist Media Relation Inpex Corporation Moch N. Kurniawan.

Halaman: