Bisnis batu bara kembali menghadapi tantangan di tengah tren penurunan harga. Managing Director & Chief Executive Officer Indika Energy Azis Armand mengatakan perusahaan harus mulai putar otak untuk menyokong kinerja keuangan.

Menurut dia, produksi batu bara Indika pada kuartal I relatif sama dengan tahun lalu yaitu sebesar 9 juta ton. “Tapi, harganya berbeda,” kata Azis di Jakarta, Senin (8/4).

Pada kuartal I tahun lalu, harga batu bara naik karena faktor musiman yaitu Imlek yang membuat permintaan dari Tiongkok meningkat. Selain itu, adanya pasokan yang terganggu imbas cuaca yang kurang kondusif.

(Baca: Indika Energy Targetkan 25% Pendapatan dari Bisnis Non-Batu Bara)

Namun, mulai paruh kedua tahun lalu, harga batu bara kembali mengalami tren turun dan berlanjut hingga tahun ini. Penyebabnya, Tiongkok yang membatasi impor untuk mendukung bisnis pertambangan domestiknya.

Di sisi lain, larangan Tiongkok terhadap ekspor batu bara asal Australia membuat meningkatnya pasokan batu bara di pasar. “Kita tidak boleh terkejut dengan hal ini, ada banyak faktor di luar kita,” kata dia.

Merespons volatilitas harga batu bara, Indika fokus mendiversifikasi bisnis. Perusahaan tengah menggarap bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), penyewaan tangki minyak (fuel storage), hingga tambang emas.

(Baca: Indika Targetkan Tambang Emas di Sulawesi Selatan Berproduksi di 2021)

Dalam lima tahun ke depan, perusahaan menargetkan kontribusi pendapatan dari bisnis non-batu bara bisa mencapai 25%. Sejauh ini, sekitar 80% pendapatan masih berasal dari batu bara. Ini artinya, pendapatan dari non-batu bara sebesar 20%.

Sementara itu, untuk jangka pendek, langkah yang bisa diambil dalam menghadapi volatilitas harga batu bara adalah efisiensi biaya. “Harus mulai putar otak untuk penurunan biaya,” ujarnya.

Tahun ini, Indika mendapatkan kuota produksi sebesar 34 juta ton, sama dengan tahun lalu. Dari jumlah tersebut porsi ekspor sekitar 8-9 juta ton atau sebesar 20% dari total produksi. Pasar ekspor terbesar yaitu Tiongkok.

Meski Tiongkok masih membatasi impor batu bara, namun Azis melihat kuota tersebut tidak terlampau tinggi. “Kami coba lah,” ujarnya. Ia mmebenarkan adanya pasar ekspor lain batu bara seperti Myanmar, Vietnam, dan Kamboja. Namun, permintaannya kecil.

Harga Batu Bara Acuan

Harga batu bara mengalami kenaikan tahun lalu. Harga batu bara acuan (HBA) untuk kalori 6.322 kcal/kg sempat menembus US$ 100 per ton. Namun, saat ini, harganya telah kembali ke kisaran US$ 80 per ton.

Pada tahun lalu, HBA secara berturut-turut, yaitu Januari US$ 95,54 per ton, Februari US$ 100,69 per ton, Maret US$ 101,86 per ton, April US$ 94,75 per ton, Mei US$ 89,53 per ton, Juni US$ 100,69 per ton.

(Baca: Permintaan Melemah, Harga Batu Bara April Turun 1,89%)

Kemudian, Juli US$ 104,65 per ton, Agustus US$ 107,83 per ton. Sedangkan, HBA periode September hanya US$ 104,81 per ton, Oktober US$ 100,89 per ton, November US$ 97,90 per ton, dan Desember US$ 92,51.

Pada tahun ini, HBA berturut-turut yaitu Januari US$ 92,41 per ton, Februari US$ 91,80 per ton, Maret US$ 90,57 per ton, dan April 88,85 per ton.