Program mandatori B20 atau kewajiban pencampuran bahan bakar nabati 20% ke dalam bahan bakar solar mulai menampakkan hasil. Menurut Kementerian ESDM, sejak mandatori B20 diimplementasikan per 1 September lalu hingga saat ini, tercatat ada penurunan impor sebesar 4.000 kiloliter per hari, dibandingkan dengan periode sebelum aturan itu diberlakukan pada Januari-Agustus 2018.
"Laporan bea cukai, impor solar harian kita turun sekitar 4 ribu kiloliter," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana di Jakarta, Jumat (9/11).
Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan akan memberikan laporan yang lebih rinci terkait perkembangan implementasi B20 kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rencananya, laporan itu akan disampaikan pada pekan depan.
Selain itu, progres penyederhanaan rantai pasokan B20 juga akan menjadi fokus pembahasan pemerintah saat ini. (Baca: Darmin Minta Asosiasi Perkapalan Sampaikan Penolakan Pemakaian B20)
Rida mengungkapkan penyederhanaan distribusi rantai pasok Fatty Acid Methyl Esters (FAME) kepada penyalur bahan bakar minyak juga akan kembali disampaikan pada Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sebab, masih ada kendala dalam ketidaksesuaian data.
Pertamina disebut meminta distribusi ke 30 titik terminal bahan bakar minyak. "Pertamina bilang untuk efektivitas, nanti kami selesaikan pada rapat gabungan pekan depan," ujar Rida.
Sementara pada pembahasan yang terjadi sebelumnya adalah penyederhanaan distribusi untuk 10 titik dengan rincian 6 kilang Pertamina dan 4 tempat eks-impor. Klasterisasi ke 10 tempat juga atas usulan dari Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi).
Proses pengiriman FAME dan penyaluran B20, menurutnya akan terus dilakukan. Namun, dia enggan menyebutkan capaian terakhir dalam program mandatori B20. "Program berjalan dan terus membaik," kata Rida.
(Baca: Asosiasi Pemilik Kapal Minta Penundaan Kewajiban B20)