Investor minyak dan gas bumi (migas) yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA) membeberkan penyebab investasi turun sejak 2014. Turunnya investasi ini dinilai bukan hanya karena faktor harga minyak dunia.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan saat ini sebenarnya harga minyak sudah membaik. Bahkan, harga minyak mengalami tren kenaikan selama setahun terakhir.
Jika mengacu data Kementerian ESDM, harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2016, rata-rata harga minyak hanya US$ 35,46 per barel. Tahun 2017, bisa mencapai US$ 51,15 per barel.
Namun, investasi migas justru turun sejak periode 2014 hingga 2017. Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar. Sementara itu, hingga kuartal III tahun 2018, investasi migas hanya US$ 8 miliar.
Atas dasar itu, menurut Marjolijn, ada faktor lain yang menyebabkan investasi migas turun. “Kenaikan harga minyak kan terjadi hampir setahun ini. Jadi sepertinya investor sedangkan mempertimbangkan termasuk untuk memilih investasi mana yang lebih menguntungkan,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (25/10).
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya juga menilai, kenaikan harga minyak seharusnya menjadi momentum mendongkrak investasi. Namun, peluang itu tampaknya tak bisa diraih Indonesia karena beberapa kendala.
Lepasnya peluang menarik investasi ini terlihat dari hasil lelang blok migas yang digelar pemerintah tahun ini. Dari lelang tersebut ada blok yang tidak laku. Padahal, pemerintah telah memperpanjang jadwal lelang memberi ruang bagi investor.
Peluang itu justru dimanfaatkan oleh negara tetangga seperti Vietnam dan Myanmar. Menurut Berly, negara tersebut kini lebih maju dari Indonesia dalam menarik investor, karena memiliki beberapa terobosan seperti kejelasan regulasi, juga kecepatan prosedur dalam proses administrasi.
Sebaliknya, Indonesia saat ini masih berkutat dengan permasalahan-permasalahan regulasi. Berly pun mengutip data survei PriceWaterhouseCoopers (PwC) tahun 2016 yang membeberkan faktor penyebab iklim investasi sektor migas tidak menarik.
Kendala yang masih relevan dihadapi pemerintah saat ini adalah kesucian kontrak. Kemudian tidak konsistennya kebijakan antara Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perindustrian.
Selain itu adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.02/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan AtasBarang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Aturan ini dianggap menghambat investasi.
Kendala lainnya adalah ketidakpastian atas pemulihan biaya (cost recovery) yang kerap menjadi temuan audit di SKK Migas oleh lembaga pemeriksa keuangan. Tak hanya itu, faktor lainnya adalah kurangnya badan tunggal yang secara objektif menyelesaikan sengketa pemerintah di berbagai departemen dan lembaga baik dari level pusat, provinsi, hingga kabupaten.
Jadi permasalahan itu yang seharusnya diselesaikan pemerintah. "Menurut saya masih sama masalahnya sekarang," kata Berly.
Hal lain yang perlu dilakukan untuk mendongkrak investasi adalah mempercepat penyelesaian revisi Undang-undang (UU) Migas. Revisi UU Migas yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2011, tapi tak kunjung selesai.
Padahal UU itu sangat penting untuk kepastian berinvestasi. "Perlu kepastian dan kejelasan. UU migas sudah bolong-bolong dan banyak dibatalkan Mahkamah Konstitusi, perlu UU Migas baru," kata Berly kepada Katadata.co.id, Kamis (25/10).
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto mengatakan draf UU Migas sebenarnya sudah diharmonisasi dan disepakati 10 fraksi. Saat ini, draf berada di Komisi VII DPR.
(Baca: Empat Tahun Jokowi-JK, Investasi Sektor Energi Terus Turun)
Namun, pembahasan masih jalan ditempat. Ini karena Komisi VII dan Komisi VI DPR masih belum menyepakati posisi BUK Migas lantaran BUK Migas dinilai bertabrakan dengan RUU BUMN yang tengah digodok Komisi VI DPR. "Terserah komisi VII, tugas baleg sudah selesai harmonisasi,” kata Totok, Kamis (25//10).