Cara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghitung neraca minyak dan gas (migas) mendapat sorotan berbagai pihak. Perhitungan dengan menyandingkan penerimaan sektor migas dengan ekspor-impor dinilai tidak tepat.
Pendiri dan Penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan semua yang tercatat sebagai penerimaan negara di sektor migas tentu sudah memasukkan hasil ekspor migas. Sebaliknya, yang tercatat sebagai ekspor migas itu sudah menjadi penerimaan negara.
Dengan begitu, seharusnya tidak tepat menyandingkan penerimaan negara dengan ekspor dan impor. “Kalau keduanya dijumlahkan lagi itu ada double counting,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (7/9).
Pencatatan penerimaan negara dengan ekspor dan impor juga berbeda. Ekspor dan impor masuk dalam neraca perdagangan. Sedangkan, penerimaan negara termasuk fiskal yang masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penerimaan negara seharusnya disandingkan dengan belanja negara. Dalam hal ini jika sektor migas, harus dibandingkan dengan subsidi Bahan Bakar Minyak dan elpiji tiga kilogram (3kg).
Jadi, neraca perdagangan sektor migas memang defisit. Selama semester I tahun 2018, defisitnya mencapai US$ 5,1 miliar. “Tidak bisa kemudian itu ditutup dengan penerimaan migas,” ujar Pri.
Ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (6/9), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memaparkan mengenai data neraca sektor migas triwulan II-2018. Neraca itu terdiri dari data penerimaan negara, ekspor dan impor sektor migas.
Dalam neraca itu, ekspor migas yang bukan menjadi jatah negara selama triwulan II-2018 tercatat US$ 2,97 miliar. Sedangkan impor US$ 6,29 miliar. Mengacu data tersebut neraca perdagangan migas defisit US$ 3,32 miliar.
Namun, menurut Jonan, seharusnya untuk melihat peranan sektor migas tidak hanya mengacu data perdagangan itu. Harus juga melihat data penerimaan negara sektor migas.
Adapun triwulan I-2018, penerimaan negara sektor migas mencapai US$ 3,57 miliar. Alhasil, jika defisit neraca perdagangan itu disandingkan penerimaan negara masih ada surplus US$ 0,25 miliar.
“Yang kami lihat adalah output daripada sektor migas ini berapa. Satu sisi bagian pemerintah atau negara, sisi lain bagian kontraktor yang diekspor dikurangi impor kita,” kata dia.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar tidak membantah neraca perdagangan mengalami defisit. Ini karena ekspor berkurang. Ekspor berkurang karena beberapa blok migas seperti Mahakam ditugaskan ke Pertamina.
Jadi, seluruh hasil migas dari Blok Mahakam yang saat dikelola Total E&P Indonesie untuk ekspor, kini masuk ke dalam negeri. Ini juga manfaat bagi negara yang perlu diperhitungkan. “Makanya kami muncul dengan memasukkan penerimaan negara,” ujar Arcandra.
(Baca: Arcandra Buka-bukaan Defisit Migas yang Disebut Biang Rupiah Melemah)
Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika berpendapat, ekspor itu tidak bisa dijumlahkan dengan ekspor. “Itu tidak apple to apple. Kalau ekspor dijumlahkan ke ekspor,” ujar dia.