Kenaikan harga minyak dunia ternyata tidak bisa dinikmati pelaku jasa pengeboran minyak dan gas bumi (migas). Mereka tetap merugi meski harga minyak terus menunjukkan tren meningkat. Bahkan hingga mendekati level US$ 80 per barel.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) mengatakan kerugian itu diakibatkan adanya Tarif Harian Operasi (THO). Jadi, ketika harga minyak rendah, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memasang THO dalam proses tender rig.

Saat itu, pelaku jasa pengeboran tetap menerima pekerjaan itu untuk mempertahankan usahanya. Namun, ketika harga naik, ternyata tarif tersebut masih mengacu saat kondisi harga rendah.

Salah satu alasan kontraktor tidak mau menaikkan harga adalah kekhawatiran melanggar hukum. "Salah satunya takut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi kami meskipun harga minyak dunia naik tetap merugi," kata Wargono kepada Katadata.co.id, Kamis (24/5).

Menurutnya KKKS takut untuk menaruh nilai penawaran (owner estimate) yang tinggi untuk THO bagi perusahaan penunjang yang ikut lelang karena bisa dianggap penyelewengan. "Harga owner estimate tinggi pada saat harga minyak tinggi, nanti disangkat ada main dengan pemenang tender," ujarnya.

Untuk itu, Wargono berharap KKKS bisa memasang harga perkiraan sendiri (owner estimate) saat lelang. Sehingga memberikan tarif yang pantas. Dengan begitu proyek itu tetap bisa memberi keuntungan bagi perusahaan pengeboran.

Wargono juga meminta Direktorat Jenderal Migas dan SKK Migas memperhatikan masalah ini. Apalagi menurut pelaku jasa pemboran sudah berkontribusi besar untuk sektor hulu migas. Jika, terus merugi, konsidi itu bisa mengancam karyawan.

Halaman: