Serikat Pekerja (SP) PT Pertamina Gas (Pertagas) menolak adanya upaya pelemahan bisnis gas PT Pertamina (Persero) akibat pembentukan induk usaha (holding) sektor minyak dan gas bumi (migas). Ini karena ada beberapa indikasi yang mengarah adanya upaya tersebut.

Ketua SP Pertagas Nugeraha Junaedy mengatakan pada dasarnya Serikat Pekerja Pertamina Gas mendukung holding migas. Namun dalam perjalanannya, proses holding menjadi suatu kompetisi yang tidak sehat, 

Posisi tawar  salah satu pihak menjadi lebih lemah dibandingkan pihak lainnya. Dalam hal ini Pertamina kehilangan posisi strategis yang mengawal proses holding.

Sejak dimulainya proses holding, beberapa aksi korporasi telah melumpuhkan kaki dan tangan Pertamina untuk tetap unggul dalam bisnis gas. Indikasi pertama adalah diterbitkannya SK No. 39/MBU/02/2018 yang menghapuskan Direktorat Gas Pertamina, yang seharusnya berperan sebagai subholding gas yang nantinya akan menjalankan fungsi strategis pengelolaan bisnis gas justru dihapuskan. Ini menjadi awal keganjilan proses Holding Migas,” ujar Nugeraha, berdasarkan keterangan resminya, Selasa (22/5).  

Indikasi kedua adalah kekosongan posisi Komisaris Utama PT Pertamina Gas (Pertagas) yang sebelumnya diisi Direktur Gas Pertamina. Ketiga, adalah pencopotan Direktur Utama Pertamina sejak tanggal 20 April 2018.

Puncak kejanggalan adalah pencopotan Direktur Utama PT Pertamina Gas (Pertagas) per tanggal 16 Mei 2018. “Satu per satu pimpinan puncak Pertamina di bidang gas dihilangkan. Saat Pertamina membutuhkan pimpinan puncaknya untuk mengawal holding, Kementerian BUMN memandang bahwa tugas peran sebesar itu cukup diserahkan kepada pejabat sementara,” ujar Nugareha.

Serikat Pekerja Pertagas juga menilai Pertamina belum sepenuhnya menjadi pemegang kuasa PGN. Hingga saat ini, saham dwiwarna PGN milik Pemerintah tak kunjung dikuasakan kepada Pertamina dalam bentuk Surat Kuasa (SKU). Jadi, pengendalian dan kontrol kebijakan strategis PGN masih di tangan Kementerian BUMN, bukan di Pertamina.

Bukti nyatanya adalah pada saat RUPS Luar Biasa PGN tanggal 26 April 2018 hanya Direktur Keuangan PGN yang berasal dari perwakilan Pertamina. Bahkan jajaran Dewan Komisaris PGN pun tidak ada yang diisi Pertamina. Menurut Nugareha sewajarnya Pertamina mendapatkan porsi Dewan Komisaris PGN sebagai pemegang saham sah.

Menurut Serikat Pekerja Pertagas, akuisisi PGN dan Pertagas juga terlihat terburu-buru. Ini karena belum lengkapnya pimpinan Pertamina dan belum dimilikinya SKU atas saham dwiwarna PGN. “Kondisi ini berpotensi mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada kerugian negara,” kata Nugeraha.

Atas indikasi itu, SP Pertagas pun mengemukakan empat poin tuntutan yang harus dipenuhi dalam holding migas. Pertama, percepatan pemberian kuasa saham dwiwarna PGN kepada Pertamina dengan segera diterbitkannya SKU.

Kedua, mengembalikan Direktorat Gas sebagai fungsi strategis yang akan memimpin Subholding Gas di Pertamina. Ketiga, segera diisinya seluruh posisi pimpinan Pertamina dan Pertagas, ini karena tugas mengambil keputusan tidak dapat dijalankan oleh pejabat sementara.

Keempat, keputusan aksi korporasi antara Pertagas oleh PGN harus dilakukan secara hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa. Dalam hal ini perlu tindakan penyehatan kinerja keuangan PGN terlebih dahulu, yakni pada masa transisi, integrasi PGN-Pertagas cukup dilakukan melalui sinergi operasi dan niaga tanpa perlu proses transaksional.

(Baca: Holding Migas Bisa Tingkatkan Pendapatan PGN Hingga Rp 14 Triliun)

Sementara itu Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno belum berkomentar mengenai hal itu. HIngga berita diturunkan, ia tidak menjawab telepon.