Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak akan mengubah aturan mengenai dana pascatambang (Abandonment Site and Restoration/ASR). Padahal, pelaku industri hulu minyak dan gas bumi (migas) sudah mengkritik Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2018 itu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Susyanto mengatakan pelaku industri migas yang terdiri dari Indonesia Petroleum Association (IPA) itu sudah melayangkan keberatan atas kebijakan itu. Alasannya, kewajiban melakukan pemulihan tambang itu akan mempengaruhi keekonomian proyek, terutama yang di kontrak lama tidak mengatur itu.
Namun, menurut Susyanto, pemerintah tetap akan menerapkan kewajiban itu meski dikritik pelaku industri. “"Waktu ketemu Wakil Menteri ESDM, kami tidak mau ubah aturan itu. Kami ajak bicara IPA, tanggung jawab ASR tetap harus ada di kontrak dan masalah ekonomis atau tidak akan dilihat dulu," kata dia di Jakarta, Kamis (19/4).
Permen ESDM Nomor 15/2018 memang mewajibkan dana ASR bagi kontraktor baru atau pun lama, meskipun di dalam kontrak sebelum tak mengatur hal itu. Namun, menurut Susyanto, untuk kontraktor lama, pembayaran ASR tidak dibebankan mulai dari kontrak ditandatangani. Mereka hanya membayar sejak aturan itu berlaku hingga kontraknya berakhir.
Sebagai contoh, jika ada kontraktor lama yang masa kontraknya tinggal tersisa tiga tahun lagi,maka kewajiban membayar ASR-nya hanya selama tiga tahun. Tahun-tahun sebelumnya tidak dibebankan.
Kontraktor juga tidak perlu amendemen kontrak untuk memasukkan klausul kewajiban ASR. Mereka cukup memasukkan kewajiban itu dalam penyusunan program kerja dan anggaran (work, plan and budget/WP&B).
Kementerian ESDM juga akan rapat dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membahas masalah itu. “Kami akan rapat dengan SKK Migas untuk menentukan berapa sih besaran ASR untuk mereka," kata Susyanto.
Sementara itu, Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin pernah meminta pemerintah mengetahui posisi kontrak hulu migas dalam peraturan yang ada di Indonesia. “Dalam dunia hukum, kontrak itu sederajat dengan Undang-undang bahkan di atas PP. Namun di Indonesia ini banyak yang tidak mengerti itu” ujar Moshe kepada Katadata.co.id, Senin (5/3).
(Baca: BPK Temukan 16 Kontraktor Migas Belum Bayar Dana ASR Rp 172 Miliar)
Moshe juga menilai pemerintah tidak adil ketika menerapkan dana ASR meski kontrak tidak mewajibkan itu. Alasannya, sebelum menandatangani kontrak, investor akan menghitung keekonomian proyek terlebih dulu.
Jadi, kewajiban baru mengenai ASR itu akan mempengaruhi keekonomian lapangan. “Sebenarnya tidak fair dari pihak pemerintah, karena biaya ini tidak diperhitungkan sebelum kontrak diteken,” ujar dia.