Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM menunda penggunaan Harga Batu bara Acuan/HBA untuk tarif listrik. Salah satu pertimbangannya adalah harga batu bara yang saat ini masih tinggi. Periode Februari 2018, HBA sudah menyentuh US$ 100,69 per ton, naik 11% dibandingkan bulan sebelumnya.

Kasubdit Harga Tenaga Listrik Direktorat Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan jika HBA juga dijadikan formula saat ini memicu kenaikan tarif listrik karena harga masih tinggi.

Jadi pemerintah juga memperhatikan daya beli. “Kalau memasukkan harga batu bara sekarang, ngamuk semua, dan akan membuat perekonomian melambat. Karena belum diimplementasikan makanya kami hold," kata dia dalam diskusi Pojok Energi tentang tarif listrik murah di Jakarta, Selasa, (27/2).

Pertimbangan lain menunda kebijakan itu adalah menunggu patokan harga batu bara untuk domestik (Domestic Market Obligation/DMO). Hingga kini hal itu masih dibahas di Kementerian ESDM dengan melibatkan pelaku tambang dan PLN.

Menurut Jisman, salah satu mekanisme harga batu bara DMO akan menggunakan batas atas dan bawah. Mekanisme ini akan menjaga kestabilan harga batu bara untuk PLN, di tengah fluktuasi pasar. Ujungnya bisa mempengaruhi tarif listrik.

Jadi, jika skema yang dipakai batas atas dan bawah, maka HBA tidak perlu lagi masuk dalam formula tarif. “Kalau udah diatur di DMO buat apa lagi tarif listrik pakai HBA, kecuali range harganya memang besar," kata dia.

Dosen Universitas Gadjah Mada yang juga ikut penyusunan DMO, Fahmy Radhi mengatakan harga batas bawah diusulkan US$ 65 per ton dan batas atas sebesar US$ 70 per ton. Angka ini di bawah permintaan pengusaha tambang yang meminta US$ 85 per ton.

Skema batas dan bawah ini nantinya akan masuk dalam revisi PP 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang segera terbit."Jadi draf PP tersebut udah diteken menteri terkait," kata dia.

Aturan ini bisa menjadi payung hukum PLN membeli batu bara. Aturan ini penting karena sebelumnya mekanisme harga batu bara ditetapkan berdasarkan negosiasi kedua belah pihak (business to business/b to b).

Dengan skema b to b itu, PLN rawan menjadi obyek temua Badan Pemeriksa Keuangan/BPH. "Kalau berdasarkan business to business, PLN tidak mau, karena kalau harganya tiba-tiba tinggi bisa menjadi temuan BPK, makanya tunggu PP dulu," kata Fahmy

(Baca: Pembedaan Harga Batu Bara Domestik Dinilai Rawan Penyelundupan

Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan pemerintah perlu mensosialisasikan lebih luas terkait penentuan harga listrik, sebab listrik menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak yang publikasinya perlu diketahui masyarakat. "Bagi YLKI listrik naik atau tidak, itu pemerintah perlu edukasi publik, persoalannya pemerintah gak edukasi publik menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," kata dia.