PT Pertamina (Persero) membukukan laba US$ 2,41 miliar atau Rp 32,24 triliun pada tahun lalu. Perolehan laba ini turun 24 persen dibandingkan 2016 yang mencapai US$ 3,15 miliar. Salah satu faktor penyebab turunnya laba ini adalah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak berubah di tengah harga minyak dunia yang naik tahun lalu.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan penyesuaian harga BBM, sehingga laba Pertamina tertekan. Padahal, perusahaannya sudah berupaya melakukan penghematan hingga 26 persen sepanjang tahun lalu.
"Belum ada kebijakan penyesuaian harga premium solar, sampai dengan kuartal 1 2018 ini. Ini berimbas pada penurunan laba bersih perusahaan sebesar 24 persen dibandingkan 2016," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (29/1). (Baca: Pertamina Masih Untung, Harga BBM Dinilai Tak Perlu Naik Hingga 2019)
Sepanjang tahun lalu Pertamina berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 42,86 miliar, naik 17,5 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan pendapatan ini ditopang dari rata-rata harga minya indonesia (ICP) sebesar US$ 51,17 per barel, lebih tinggi dibadingkan 2016 yang hanya US$ 40,16 per barel.
Meski pendapatan naik, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan penyusutan (EBITDA) justru turun dari US$ 7,56 miliar menjadi US$ 6,29 miliar. Laba operasi pun turun 22 persen dari US$ 6,19 miliar menjadi US$ 4,84 miliar.
Kinerja keuangan Pertamina tahun lalu terlihat kurang baik. Rasio likuiditas turun 7,7 persen, rasio uang tunai. Kemampuan membayar utang dengan kas tersedia yang ditunjukkan dengan cash ratio juga turun 7 persen. "Berdasarkan perhitungan ini Debt equity ratio (rasio utang terhadap ekuitas) kami turun 4,8 persen di 2017," kata Elia.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan perusahaannya sudah berhasil menurunkan posisi hutang pada 2017. Tercatat pada 2016 utang Pertamina sebesar US$ 17,4 miliar, kemudian turun 7,4 persen pada 2017 menjadi US$ 11,01 miliar. Adapun saat ini pertamina masih mencatat saldo piutang pemerintah terkait subsidi energi.
(Baca: Kebijakan Harga BBM Bisa Ancam Laba Pertamina)
Sepanjang 2017, saldo piutang pemerintah yang tercatat di Pertamina mencapai Rp 28,959 miliar. Rinciannya, Rp 25,455 miliar untuk subsidi BBM dan LPG, Rp 1 miliar untuk konversi nelayan, dan Rp 3,503 miliar untuk Bahan Bakar, Minyak dan Pelumas (BMP) TNI.
Meski begitu, Arief mengatakan angka kinerja keuangan tahun lalu ini masih sementara. Hingga saat ini laporan keuangan Pertamina masih belum selesai diaudit, sehingga masih dapat berubah. Angka final yang sudah teraudit akan rilis pada 14 Februari 2018, bertepatan dengan hari kasih sayang.
Dia menjelaskan tahun ini Pertamina akan terus berupaya melakukan efisiensi, untuk mengantisipasi agar laba tidak kembali tertekan akibat harga BBM. Karena Pertamina tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi harga BBM, khususnya Solar dan Premium yang ditetapkan pemerintah.
Antsipasi tersebut dilakukan dengan mencoba menekan biaya operasi Pertamina. "(Belanja operasional) Opex kami lihat lagi nanti bagaimana. Kalau sejauh ini kan pemerintah masih me-review formulasi harga BBM. Tapi kalau pun enggak naik, kami cari jalannya," kata Arief.
Menurutnya kinerja keuangan Pertamina, paling besar ditopang dari sektor hilir, yakni BBM. Makanya dampak bisnis BBM ini sangat berdampak pada kinerja laba Pertamina. (Baca: Jonan Belum Bisa Pastikan Harga BBM Naik)
Untuk diketahui, kinerja Pertamina pada 2016 berhasil membukukan capaian laba bersih tertinggi sepanjang lima tahun terakhir. Sementara capaian terendah dialami pada 2015 dengan laba bersih senilai US$ 1,42 miliar.