PT Pupuk Indonesia menolak membeli gas Blok Masela sesuai dengan harga yang diajukan Inpex Corporation yakni US$ 5,86 per mmbtu. Jika harga itu dipaksakan, perusahaan khawatir pabrik yang akan dibangun untuk menyerap gas itu akan mangkrak.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat mengatakan permintaan Inpex itu terlalu tinggi untuk menutup ongkos produksi. “Kalau harganya US$ 5,86 per mmbtu, pabrik yang dibangun bisa mangkrak," kata dia di Kantor BUMN, Jakarta, Senin (16/10).
Menurut Aas, perusahaan membutuhkan dana sekitar Rp 7 triliun untuk membangun pabrik baru. Bahkan biaya itu masih bisa meningkat jika ditambah dengan bunga dari pinjaman dalam pembangunan pabrik baru itu.
Namun pembangunan pabrik baru ini merupakan opsi terbaik menyerap gas Masela. Ini karena pabrik baru lebih efisien dalam menggunakan gas bumi, sehingga menghemat biaya. Pabrik baru hanya membutuhkan gas sekitar 24 mmbtu untuk menghasilkan pupuk satu ton. Sedangkan pabrik tua bisa 30 mmbtu.
Alhasil, agar pabrik bisa ekonomis, Pupuk Indonesia mencari gas bumi yang harganya di bawah US$ 5 per mmbtu. "Intinya, saya mencari di mana ada harga gas yang feasible, yaitu US$ 3," ujar Aas.
Jika permintaan harga ditolak, manajemen Pupuk Indonesia belum bisa menentukan sikap mengenai kepastian jadi pembeli. Di sisi lain, Aas juga masih menunggu insentif berupa keringanan pajak (tax holiday) dan penyediaan infrastruktur penunjang untuk mendukung proyek Masela. Pupuk Indonesia sudah disampaikan kepada Kementerian ESDM, bulan lalu.
Sebelumnya, Kementerian ESDM tidak akan memberikan subsidi harga gas Blok Masela. Artinya, para pembeli harus membayar US$ 5,86 per mmbtu untuk mendapatkan gas dari Ladang Abadi tersebut.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan harga US$ 5,86 per mmbtu ini bukan harga di hulu, melainkan sampai pengguna akhir. Harga itu merupakan perhitungan operator Blok Masela, Inpex sesuai keekonomian proyek.
Jadi jika industri menginginkan harga gas US$ 3 per mmbtu itu tidak ekonomis untuk menggarap proyek Masela. “Itu tidak masuk keekonomian," kata Arcandra.