Penyusunan aturan perpajakan untuk skema kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) gross split sampai saat ini belum rampung. Kendalanya ada masih ada dua hal yang belum mencapai titik temu antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan hal pertama yang sampai saat ini belum sepakat adalah mengenai tax lost carry forward atau kompensasi kerugian pajak. Kementerian ESDM meminta agar kompensasi untuk kontraktor migas tidak mengikuti perpajakan umum.
Jika mengacu pasal 6 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, kompensasi kerugian pajak maksimal hanya lima tahun. "Kami minta jangan lima tahun," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (13/10).
Menurut Arcandra batas maksimal lima tahun itu sulit diterapkan di industri hulu migas. Alasannya agar bisa memproduksi migas, kontraktor perlu waktu lebih dari lima tahun untuk eksplorasi.
Belum ketika eksplorasi, kontraktor juga memiliki risiko gagal menemukan cadangan migas. Jadi, pajak penghasilan pun belum bisa dibebankan kepada badan usaha karena belum berproduksi.
Adapun masalah kedua yang sampai saat ini belum menemui kata sepakat adalah mengenai jenis pajak tidak langsung. Untuk mengatasi kedua kendala itu, Arcandra menggelar rapat dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Jumat sore ini.
Arcandra optimistis, aturan itu bisa selesai sebelum masa lelang blok migas berakhir. "Harapannya Peraturan Pemerintah selesai sebelum masa perpanjangan lelang migas tutup 20 November nanti," kata dia.
Tahun ini pemerintah melelang 15 blok migas menggunakan skema gross split. Jumlah itu terdiri dari 10 blok migas konvensional dan lima blok nonkonvensional.
Adapun batas akhir akses dokumen untuk lelang blok konvensional dan nonkonvensional baik melalui mekanisme penawaran langsung dan lelang reguler, maksimal hingga 20 November 2017. Sementara batas akhir pengembalian dokumen 27 November 2017.