Para pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) menyambut baik langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi aturan kontrak bagi hasil gross split. Meski begitu, mereka masih menunggu kejelasan mengenai mekanisme perpajakan pada skema baru tersebut.

Hal tersebut terungkap dalam acara sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 52 tahun 2017 mengenai kontrak bagi hasil gross split. Acara yang berlangsung di Kementerian ESDM ini dihadiri oleh para pelaku industri migas.

(Baca: Investor Migas Ragu Pakai Skema Gross Split Tanpa Kejelasan Pajak)

Dalam pertemuan tersebut, President Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere meminta agar pemerintah memperjelas mekanisme perpajakan yang harus dibayarkan kontraktor jika menggunakan skema gross split. Ini penting untuk memberikan kepastian kepada pelaku industri hulu migas.

Apalagi perpajakan tersebut juga berpengaruh terhadap suatu keekonomian wilayah kerja yang akan dihitung kontraktor. “Kami meminta agar mekanisme perpajakan diklarifikasi dan meminta Pemerintah Indonesia berhati-hati untuk membuat lebih banyak ketidakpastian,” ujar dia.

Permasalahan pajak ini juga sempat ditanyakan oleh President & General Manager Total E&P Indonesie (TEPI) Arividya Noviyanto. Ia menanyakan mengenai kelanjutan diskusi dengan  Kementerian Keuangan mengenai peraturan perpajakan untuk skema kontrak gross split yang pernah dijanjikan pemerintah. “Kira-kira yang keluar seperti apa aturannya,” kata dia.

(Baca: Kementerian ESDM Janjikan Aturan Pajak Gross Split Terbit Usai Lebaran)

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan aturan perpajakan untuk kontrak gross split masih dalam pembahasan di Kementerian Keuangan. Rencananya Selasa depan (12/9), Kementerian Keuangan dan IPA akan berdiskusi untuk membahas perpajakan gross split tersebut.

“Aturan perpajakan itu kan domainnya Kementerian Keuangan. IPA ingin aturan perpajakan itu comparable dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017,” ujar dia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017, kontraktor migas bisa mendapatkan fasilitas pembebasan pajak pungutan bea masuk atas impor barang pada tahap eksplorasi. Selain itu, ada empat kriteria yang tidak dipungut pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. 

Pertama, perolehan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu. Kedua, impor barang kena pajak tertentu.

Ketiga pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Keempat, pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari Iuar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.

Fasilitas lainnya adalah tidak dilakukan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan Bea Masuk. Kemudian ada pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 100% dari yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) selama masa eksplorasi.

(Baca: Aturan Baru, Kontraktor Migas Nikmati Insentif Pajak Sejak Eksplorasi)

Sementara pada tahap eksploitasi juga ada beberapa fasilitas pajak yang sama. Hanya fasilitas tersebut diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan keekonomian proyek dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).