Aturan baru terkait kewajiban mendapat persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ketika mengganti direksi dan komisaris di perusahaan energi termasuk minyak dan gas bumi (migas) bisa menciptakan konflik kepentingan. Pemerintah dianggap terlalu mengintervensi dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap korporasi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pembagian fungsi pemerintah dan korporasi menjadi tidak tegas dengan aturan itu. “Saya kira berpotensi konflik kepentingan," kata dia kepada Katadata, Senin (24/7).

(Baca: Buat Aturan Hambat Investasi, Menteri ESDM dan LHK Ditegur Jokowi)

Kewajiban mendapat persetujuan dari Menteri ESDM dalam pergantian direksi dan komisaris ini tercantum pada Permen 42 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Pengusahaan Pada Kegiatan Usaha di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. Aturan itu menyebutkan menteri memiliki kewenangan menyetujui atau menolak permohonan perubahan direksi atau komisaris.

Menurut Komaidi dengan aturan itu pemerintah terlalu ikut campur proses pemilihan jajaran direksi suatu perushaaan. Seharusnya fungsi pengawasan pemerintah tidak perlu menyentuh pemilihan direktur atau komisaris.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menganggap aturan itu tidak akan menimbulkan konflik kepentingan. "Apanya yang konflik, pemerintah mempunyai kekuasaan hukum yang melekat," kata dia kepada Katadata, Senin (24/7).

Satya mengatakan untuk menilai aturan itu harus melihat kontrak yang dipegang investor. Jika kontrak itu belum mengatur hal tersebut maka aturan itu menjadi bagian dari fungsi pengawasan dan kontrol pemerintah terhadap kontraktor.

Halaman: