“Transparansi Harus Jadi Prioritas”

Katadata
Penulis: Jeany Hartriani
26/5/2017, 10.58 WIB

Tujuh tahun pelaksanaan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), pengelolaan sumber daya alam Indonesia masih dianggap belum terbuka. Masih banyak pelaku industri dan lembaga pemerintah yang enggan melaporkan aktivitas mereka. Akibatnya, sejumlah kasus korupsi, baik di daerah maupun pusat, terkait pengelolaan sektor tambang kerap terjadi dan terungkap.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi salah satu inisiator EITI Indonesia, Erry Riyana Hardjapamekas, menilai lambannya progres inisiatif keterbukaan tersebut karena rendahnya komitmen pemerintah. Ia menganggap pemerintah justru tidak mentaati berbagai standar EITI. “Kalau memang tidak mau, perpresnya dicabut saja sekalian,” ujar Erry.

Peraturan Presiden No. 26/2010 yang menjadi landasan implementasi EITI di Indonesia seharusnya mendorong seluruh lembaga negara yang terkait untuk menerapkan standar-standar EITI. Erry menegaskan, transparansi merupakan kunci membangun industri. Dengan mengimplementasi EITI, komitmen pemerintah sudah terbentuk. “Bagus jika tanggung jawab mendorong transparansi dipindah dari Kemenko Perekonomian ke KPK,” ujarnya, saat ditemui Katadata di Jakarta, awal April lalu.

Apa yang membuat Anda ikut mendorong implementasi EITI di Indonesia?

Transparansi merupakan jawaban atas ketertutupan dan kecurigaan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Inisiatif keterbukaan ini bertujuan menghindari prasangka mengenai, misalnya, berapa royalti yang dibayarkan, berapa pajak yang disetorkan, berapa jumlah PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), berapa dana CSR (Corporate Social Responsibility) dan dipakai untuk apa saja.

Apakah kecurigaan yang muncul ini dari publik saja?

Tidak terbukanya sektor pertambangan menimbulkan kecurigaan antara berbagai pemangku kepentingan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai perusahaan tambang. Perusahaan tambang mencurigai adanya orang tertentu yang mengendalikan LSM. Kemudian pemerintah juga mencurigai perusahaan. 

Skema inisiatif EITI dapat mengikis kecurigaan tersebut?

Semangatnya begitu. Kerjasama antara pemangku kepentingan penting untuk mewujudkan keterbukaan informasi di sektor pertambangan, termasuk migas dan minerba. Contohnya, perusahaan A sudah membayar royalti Rp 1 juta pada 2006, Kementerian Keuangan bertugas mengecek, selanjutnya ada proses rekonsiliasi untuk memastikan bahwa jumlah yang dikeluarkan perusahaan dan diterima pemerintah sama. 

Apakah transparansi ini juga merupakan upaya pemberantasan korupsi?

Tindakan korupsi, khususnya di minerba, banyak terjadi ketika proses penerbitan izin kuasa pertambangan. Saat itu sangat mungkin lisensi diperjualbelikan. Sedangkan transparansi lebih pada menghilangkan kecurigaan pasca perusahaan tambang beroperasi. 

Bagaimana jual beli izin itu terjadi?

Saat akan membuka tambang, pengusaha harus mendapat izin dari bupati setempat. Biasanya ini marak menjelang pemilihan kepala daerah. Jadi kepala daerah akan meminta bayaran atas lisensi yang diterbitkan. Uang itu kemudian digunakan untuk membiayai kampanye. 

Lalu, apa dampak transparansi bagi industri dan iklim investasi?

Investor akan datang bila mereka melihat suasana yang transparan. Transparan ini termasuk kejelasan dalam pemberian izin, dan kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah. Kejelasan-kejelasan itu diungkap secara transparan melalui ikutnya Indonesia dalam program EITI. Jadi komitmen untuk transparan sudah terbentuk.

Dan bagaimana Anda melihat pelaksanaan komitmen tersebut?

Sebenarnya sudah ada peraturan presiden yang mengatur, hanya saya sanksinya tidak ada. Pada zaman Sri Mulyani hingga Hatta Rajasa menjadi Menko Perekonomian, proses transparansi masih berjalan. Namun mulai mundur ketika ada pergantian pemerintahan (2014-red). Saya tidak tahu kenapa, mungkin ini dianggap bukan prioritas. 

Anda menilai pemerintah tidak serius melaksanakan komitmen EITI?

Dalam dua sampai tiga tahun terakhir bisa dibilang begitu. Begini, kita berangkat dari peraturan presiden yang masih berlaku saja. Kalau kalangan pemerintah sendiri tidak menaati, bagaimana kita mau menyuruh pelaku usaha? Kalau memang tidak mau, perpresnya dicabut saja sekalian. Kita dulu menciptakan perpres itu tidak asal-asalan, tapi dengan pertimbangan yang melewati proses diskusi panjang dan melibatkan berbagai pihak. 

Apakah kendurnya komitmen pemerintah karena anjloknya harga (baru bara dan minyak) dalam tiga tahun terakhir?

Betul, itu juga faktor lain yang membuat pemerintah dan pengusaha tidak semangat. Tapi sebenarnya bukan halangan. Walaupun harga turun, royalti tetap harus dibayarkan. Pajak tetap harus disetor walaupun perusahaan rugi. Jadi, sebenarnya harga komoditas tidak menghilangkan kepentingan transparansi. 

Jadi, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk kembali mendorong inisiatif transparansi tersebut?

Harus ada penyadaran melalui sosialisasi, terutama di jajaran menteri koordinator dulu. Dari situlah sosialisasi akan berlanjut ke daerah, yaitu ke bupati dan gubernur. Banyak kepala daerah yang menganggap transparansi bukan prioritas, bahkan dirasa sebagai gangguan karena menghalangi kesenangan mereka melakukan pelanggaran. 

Apakah perlu pelibatan lembaga negara yang memiliki otoritas penegakan hukum?

Hal yang bagus jika tanggung jawab mendorong transparansi dipindah dari Kemenko Perekonomian ke KPK. Tapi sebenarnya KPK juga sudah memberi perhatian ke sektor migas dan minerba.

Reporter: Jeany Hartriani