Polemik yang terjadi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia dinilai tidak berpengaruh terhadap minat investor menanamkan modalnya di sektor pertambangan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai investor memandang polemik tersebut sebagai suatu permasalahan khusus dan tidak menggambarkan iklim investasi di Indonesia secara umum.

Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, proses negosiasi yang dilakukan antara pemerintah dengan Freeport memang menyita perhatian publik yang cukup luas. Pemberitaan di media pun cukup menyebar luas. Namun, Lembong memastikan, proses tersebut tidak berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia.

"Untuk sementara ini, investor melihatnya sebagai special case yang terisolasi dan tidak mencerminkan kondisi investasi atau iklim investasi secara umm," ujar Lembong saat konferensi pers, di Kantor BKPM Pusat, Jakarta, Rabu (26/4).

(Baca: Soal Freeport, Luhut: Wapres Amerika Puas dengan Penjelasan Jokowi)

Lembong pun membuktikan iklim investasi Indonesia tidak terpengaruh polemik dengan Freeport, dengan realisasi investasi di sektor pertambangan yang masih cukup besar pada kuartal I tahun ini. BKPM mencatat realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di sektor pertambangan mencapai Rp 8,1 triliun. Sedangkan, di realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai US$ 1,2 miliar, terbesar dibandingkan sektor lainnya.

Realisasi investasi di sektor pertambangan ini mencakup industri turunannya yakni pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Menurut Lembong, langkah pemerintah untuk mengembangkan industri hilir ini cukup sukses dilakukan. Salah satu produk tambang, yakni Nikkel memiliki industri smelter yang cukup maju.

"Investasi terbesar saya kira dari Tiongkok. Berkat investasi smelternya terutama turunan Nikkel, Indonesia saat ini menjadi top 3 dunia sebagai penghasil stainless steel," ujarnya. (Baca: Naik 13 Persen, Realisasi Investasi Kuartal I Capai Rp 165,8 Triliun)

Menurut Lembong, pemerintah perlu mendorong sektor lain untuk melakukan hilirisasi. Salah satu segmen yang kurang mendapat perhatian, tapi memiliki potensi yang menjanjikan adalah industri pengolahan dan pemurnian emas. Karena, sejauh ini, emas cukup banyak menghasilkan devisa bagi negara melalui investasi yang dilakukan Australia.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan telah mencapai kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia terkait masa negosiasi antara kedua belah pihak. Keduanya sepakat masa negosiasi berlangsung selama enam bulan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamuji mengatakan pemerintah meminta masa negoisasi selama enam bulan. Sementara Freeport menginginkan negosiasi dengan pemerintah dilakukan selama 120 hari atau empat bulan.

Dalam hal ini Freeport mengacu pada Kontrak Karya (KK) pasal 21 Ayat 2, sehingga meminta waktu negosiasi dengan pemerintah selama 120 hari. Pasal ini menyatakan sebelum pemerintah atau Freeport melakukan upaya arbitrase, kedua pihak harus melakukan segala upaya untuk menyelesaikan sengketa. Freeport tidak diwajibkan mencari pemecahan masalah untuk waktu lebih dari 120 hari setelah memberitahukan sengketa yang akan timbul.

"Tapi yang kami sepakati enam bulan untuk mencari penyelesaian," kata dia. (Baca: Kantongi Izin dari Pemerintah, Freeport Segera Ekspor Konsentrat)