Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) lebih efektif mengawasi penggantian biaya operasional (cost recovery) kepada kontraktor migas. Dengan begitu, penerimaan negara tidak terlalu terpengaruh di tengah meredupnya bisnis di sektor migas.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazar mengatakan, penerimaan negara dari sektor migas sejak tiga tahun terakhir terus menurun. Pada 2014, penerimaan negara dari migas sebesar Rp 320 triliun. Lalu turun menjadi Rp 136 triliun di 2015 dan tahun lalu tinggal Rp 80 triliun.

(Baca: Penerimaan Negara 2016 Meleset, DPR Kritik Sri Mulyani)

Salah satu faktor yang bisa menyebabkan penerimaan negara turun adalah cost recovery.  “Kalau cost recovery naik artinya penerimaan turun, kami berusaha untuk menekan itu," kata dia dalam diskusi kelompok atau Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Indonesia Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Rabu (29/3).

Untuk menekan cost recovery, SKK Migas tidak boleh jor-joran. Semua dana yang dikembalikan harus melalui proses audit agar tidak melebihi dari yang seharusnya dibayar. Proses pengadaan barang juga harus diperhatikan sehingga terjadi efisiensi biaya. 

Meski ingin menekan cost recovery, menurut Suahasil, Kementerian Keuangan juga berharap eksplorasi bisa tetap berjalan. Dengan begitu, dapat meningkatkan produksi minyak dan gas di dalam negeri.

Hal ini penting karena kebutuhan energi semakin meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Jika sektor migas jalan di tempat maka akan terjadi defisit neraca perdagangan sektor migas pada 2021 di atas US$20 miliar. "Kami mau melihat industri hulu eksplorasi dan eksploitasi berjalan," kata Suahasil.

(Baca: Anggaran Cost Recovery Migas Tahun Depan Melonjak 24 Persen)

Direktur eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan kebutuhan energi di Indonesia tiap tahun memang meningkat. Saat ini konsumsi minyak masyarakat di Indonesia mencapai 1,6-1,7 juta bph. Sementara produksinya hanya sekitar 800 ribu barel per hari (bph).

Hal itu membuat negara harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan asumsi lifting hanya mencapai 850 ribu Bph dan harga minyak sebesar US$ 50 per barel, maka devisa impor BBM yang dibutuhkan rata-rata mencapai US$ 15,51 miliar.

Sementara jika asumsi minyak yang dipakai sebesar US$ 100 per barel,. Maka kebutuhan devisa impornya mencapai US$ 31 miliar.  Ini hampir setara dengan 25-30 persen cadangan devisa sekarang ini. “Kalau tidak hati-hati kepada masalah-masalah sektor hulu migas dampaknya kestabilan makro ekonomi terutama nilai tukar rupiah," ujar dia.

(Baca: Investasi Migas Dunia Mulai Bangkit, di Indonesia Hadapi Kendala)

Sementara itu, Sekretaris IPA Ronald Gunawan mengatakan kebijakan pemerintah juga sangat mempengaruh besarnya cost recovery. Sebagai contoh, jika proses perizinan lama mau tak mau bisa menyebabkan biaya operasi yang dikeluarkan KKKS ikut naik.