Keempat, pelonggaran ekspor mineral mentah telah memicu eksploitasi sumber daya alam berlebihan, akibatnya  terjadi kerusakan lingkungan. Kelima, pelonggaran keran ekspor dan kewajiban pembangunan smelter telah memunculkan ketidakpastian hukum.

Keenam, kebijakan ekspor konsentrat dan mineral mentah dinilai dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan IUP di Indonesia yang telah dirintis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian ESDM, bersama pemerintah daerah dan instansi terkait. Salah satunya terkait penertiban IUP yang belum melakukan proses clean and clear.

Ketujuh, pemberian  ekspor konsentrat akan menjerat Indonesia kembali pada kegiatan ekonomi eksploitasi ala kolonial. Kala itu, sumber daya alam dipandang sebagai sebuah komoditas dan menghilangkan nilai tambah bagi negara dan masyarakat.

Kedelapan, perubahan KK menjadi IUPK juga menyalahi ketentuan dalam UU Minerba. Penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) seharusnya mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. Selanjutnya, penetapan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) ditawarkan lebih dulu kepada BUMN,  dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK. 

Kesembilan, pelonggaran ekspor mineral mentah serta aturan perubahan KK menjadi IUPK berpotensi menguntungkan  sekelompok pihak dan merugikan kepentingan  negara yang lebih besar. Apalag, jika Freeport bersedia mengubah KK menjadi IUPK.

Dengan berubah menjadi IUPK, Freeport berpeluang mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun lebih cepat. Padahal, pemerintah harus mulai memikirkan mengembalikan wilayah operasi tambang Freeport yang akan berakhir pada 2021 kepada negara untuk selanjutnya dikelola sendiri oleh pihak di dalam negeri.

Untuk itu, koalisi menilai KPK perlu menyelidiki adanya  potensi  corruption by law atau korupsi melalui peraturan dalam penyusunan Permen ESDM No. 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017. “Khususnya terkait klausul pemberian izin ekspor untuk nikel dan bauksit serta perubahan KK menjadi IUPK,” kata Redi.

(Baca: Freeport Minta 'Keringanan' Pajak, Sri Mulyani Belum Setuju)

Sekadar informasi, Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Walhi Bangka Belitung, KA-KAMMI, PWYP Indonesia, Energy World Indonesia, JATAM, Indonesia Global Justice, KAHMI,  Article 33 Indonesia, PUSHEP, IHCS, LBH Bogor, LBH Depok, FITRA, WALHI NTB. Selain itu, ada beberapa individu pemerhati sektor pertambangan, seperti Berly Martawardaya, Ahmad Redi, Marwan Batubara, Fahmy Radhi, dan Yusri Usman.

Halaman: