PT Pertamina (Persero) tidak mau terburu-buru menandatangani kontrak Blok East Natuna. Penandatanganan kontrak ini kemungkinan baru bisa terlaksana tahun depan, setelah kajian teknis dan pasarnya rampung.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan, kajian teknis dan pasar ini sangat penting untuk mengetahui aspek komersial sekaligus pihak pembeli gas hasil produksi blok tersebut. Dengan begitu, konsorsium pengelola Blok East Natuna bisa menghitung keekonomian proyek tersebut. (Baca: Pengembangan Minyak dan Gas Blok East Natuna Bisa Bersamaan)
Syamsu menambahkan, Pertamina tidak ingin ketika berproduksi gas dari Blok East Natuna malah tidak laku. Padahal kontraktor sudah mengeluarkan dana yang besar, sehingga bisa merugikan. “Lebih tepat jangan buru-buru di-sign sekarang. Proposal kami juga belum, baru nanti di 2018,” kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (11/1).
Tantangan lain di Blok East Natuna adalah kandungan karbondioksida (CO2) yang besar hingga 70 persen. Untuk memisahkan CO2 dengan gas bumi membutuhkan dana yang besar. Jadi, Pertamina masih perlu berkomunikasi dengan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan ongkos yang dikeluarkan. (Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Di sisi lain, Syamsu juga tidak bisa memastikan dengan skema gross split bisa lebih ekonomis dan mendapat keuntungan. Semua itu tergantung penentuan besaran bagi hasil yang diterima kontraktor dan pemerintah.
Yang jelas, salah satu caranya agar proyek itu ekonomis adalah mengendalikan ongkos atau biaya untuk kegiatan di Blok East Natuna. Hal ini juga sesuai arahan Menteri ESDM Ignasius Jonan. “Jadi kalau pemasukan sama, tapi cost kami kurangi, kan keuntungan bisa lebih bagus,” ujar dia. (Baca: Exxon Diklaim Sanggupi Syarat Pemerintah Garap Blok East Natuna)
Sementara untuk pembagian porsi hak kelola antar konsorsium di East Natuna sudah sepakat. Syamsu mengatakan Pertamina mendapat porsi hak kelolanya sebesar 45 persen, ExxonMobil sebesar 45 persen, dan 10 persen PTT Thailand.