Dia mengaku pemerintah tidak mudah memberikan insentif untuk setiap wilayah kerja di laut dalam. Perlu kajian mendalam untuk melihat blok-blok migas mana saja yang berhak mendapatkan insentif dan mana yang tidak. Termasuk proyek lama yang hingga saat ini belum berjalan, seperti proyek IDD Chevron.

Rencana pemberian insentif ini dilakukan karena pemerintah ingin mengembangkan potensi migas laut dalam yang dinilai sangat besar. Selama ini kontraktor menganggap proyek migas di wilayah tersebut kurang menarik. (Baca: Produksi Lapangan Bangka Mundur Sampai Agustus 2016)

Pengusaha hulu migas menganggap tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) yang masih rendah. Jauh dibandingkan IRR yang bisa didapat pada ladang migas laut dalam di Meksiko. Wiratmaja mengatakan seharusnya IRR yang diperoleh kontraktor untuk menggarap laut dalam di atas 20 persen.

Wirat juga pernah mencontohkan Norwegia yang sukses mengembangkan potensi migas laut dalam. Banyak investor yang mau menanamkan modalnya di negara tersebut. Padahal, Norwegia memiliki kondisi laut dalam yang sangat sulit dijangkau untuk kegiatan operasi migas.

Pemberian insentif diharapkan bisa membuat kontraktor tertarik berinvestasi di Indonesia. Salah satunya dengan memperpanjang masa eksplorasi. Pemerintah biasanya memberikan jatah waktu kepada kontraktor untuk melakukan eksplorasi paling lama 10 tahun. Nantinya masa eksplorasi akan ditambah menjadi 15 tahun. (Baca: Fasilitas Rampung, Produksi Lapangan Jangkrik Lebih Cepat dari Target)

Insentif lainnya berupa perubahan split (bagi hasil) yang lebih besar untuk kontraktor migas di laut dalam. Porsi bagi hasil ini memang sering dikeluhkan investor migas yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Ini juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan usaha migas di dalam negeri dianggap kurang menarik.

Halaman: