KATADATA - Setelah kasus jual beli uap untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 1,2,3 Kamojang, Garut, Jawa Barat selesai, kini PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) kembali berseteru. Kali ini Pertamina dan PLN ribut mengenai jual beli gas dari Blok Offshore North West Java (ONWJ).
Presiden Direktur PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Gunung Sardjono Hadi mengatakan sebenarnya kontrak jual beli gas dengan PLN sudah berakhir pada Januari tahun lalu. Sampai saat ini belum ada kesepakatan untuk kontrak yang baru.
Pembahasan kontrak ini menyita waktu cukup lama. Dalam kontrak baru yang ditawarkan kepada PLN, Pertamina menaikkan harga gas untuk kontrak yang baru dari US$ 6 per juta kaki kubik per hari (mmscfd) menjadi US$ 7 per mmscfd.
Alasan Pertamina menaikkan harga, kata dia, untuk mengembalikan investasi proyek yang selama ini dilakukan di Blok ONWJ. Harga tersebut juga sudah diajukan ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Bumi (SKK Migas). (Baca : Efisiensi, Pertamina Kurangi Aktivitas Jalan-Jalan ke Luar Kota)
“SKK Migas setuju harga tersebut, kemudian harga tersebut disampaikan ke PLN. Namun PLN masih meminta waktu dan sampai sekarang belum ada harga baru,” kata dia ketika berbincang dengan wartawan di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Kamis (14/1).
Meski belum menemukan kesepakatan, sampai saat ini Pertamina masih memasok gas ke PLN. Penjualan ini hanya berdasarkan kesepakan sementara, sambil menunggu kontrak yang baru. Meski hanya sementara, volume gas yang dipasok cukup besar. Dari produksi gas ONWJ sekitar 180 mmscfd sampai 200 mmscfd, pasokan untuk PLN sebesar 100 mmscfd.
Gunung mengatakan alasan Pertamina tetap memasok gas tersebut adalah untuk menjaga agar tidak ada pemadaman listrik di Jakarta. Selain itu SKK Migas juga tetap menghimbau agar Pertamina tidak mengurangi pasokan gas ke PLN dan berjanji akan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Masalahnya, harga yang digunakan masih mengacu pada kontrak yang lama. Sampai saat ini Gunung masih menunggu sikap dan penyelesaian dari pemerintah. Ke depan, dia sangat berharap pemerintah bisa mencarikan pembeli gas baru, sehingga kontraktor gas tidak hanya bergantung pada PLN. Mengingat kelanjutan bisnis gas sangat bergantung pada permintaan gas. (Baca : Tak Terserap, 18 Kargo Gas Akan Dijual di Pasar Spot)
“Tolong mulai pikirkan kalau anchor buyer tidak hanya satu. Kami coba penetrasi ke tempat lain seperti Petrokimia, supaya tidak tergantung dengan PLN. Meskipun harus diakui pembeli paling besar gas adalah PLN,” ujar dia.
Sementara itu, pihak PLN masih belum mau berkomentar banyak mengenai masalah tersebut. Bahkan ketika dihubungi Katadata, Manajer Senior Public Relations PLN Agung Murdifi mengaku belum mengetahui hal tersebut. “Saya cari data dulu,” kata dia, Jumat (15/1).
Sebelum masalah ini, Pertamina dan PLN juga sempat ribut mengenai harga jual uap untuk PLTP Kamojang 1,2 dan 3. Permasalahan ini juga muncul setelah kontrak jual beli berakhir. Menurut pihak PLN, harga jual uap yang ditawarkan Pertamina untuk kontrak baru terlalu mahal.
Dari perhitungan internal PLN, dengan hanya kontrak lima tahun, harga jual uap tersebut tidak lebih dari US$ 4 sen per kwh. Namun menurut pihak Pertamina, harga yang ditawarkan tidak mengalami kenaikan dan masih sama dengan kontrak lama yakni US$ 6,2 sen per kwh. Setelah kedua berperang opini di media, akhirnya Menteri Badan Usaha dan Milik Negara (BUMN) menyelesaikan masalah tersebut dan menetapkan harga jual uap US$ 6 sen per kwh. (Baca : Ditegur Rini, Pertamina-PLN Sepakati Harga Uap Pembangkit Kamojang)