Masa Depan LNG Bontang Usai Ditinggal Pembeli Jepang

123RF.com/Artinun Prekmoung
Ilustrasi LNG. Western Buyer Extention dikabarkan tidak akan memperpanjang kontrak pembelian gas alam cair atau LNG Bontang yang habis pada akhir 2020.
Penulis: Sorta Tobing
11/9/2020, 18.50 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat total produksi gas alam yang dicairkan pada 2018 sebanyak 19,1 juta metrik ton. Jumlah tersebut berasal dari tiga kilang, yakni Bontang, Tangguh, dan Donggi Senoro.

Sepanjang periode 2014-2018, total produksi LNG mencapai angka tertinggi pada 2016, yakni 20,2 juta metrik ton. Jumlah itu merupakan peningkatan dari dua tahun sebelumnya, tetapi kemudian menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Terhimpit Proyek Negara Tetangga

Sambil menanti pembeli anyar, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan Badak LNG perlu cermat memperhitungkan proyeksi produksinya. “Jangan sampai ketika sudah teken kontrak, harus mencari ke sana-sini, termasuk pasar spot untuk memenuhi target,” katanya.

Pencarian pembeli sebenarnya sudah terjadi sejak 2019 silam setelah WBX tidak menunjukan niat memperpanjang kontrak. Namun, di tengah kontrak yang akan habis dalam hitungan bulan, harga LNG saat ini terus merosot dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi kontraktor. “Kemungkinan terburuknya, kelebihan kargo dijual ke pasar spot dan pasti harganya lebih murah,” ujar Mamit.

Melansir dari data SKK Migas, harga LNG cenderung mengalami penurunan sejak 2015 setelah harga minyak dunia merosot. Harga rata-rata tertimbang gas Indonesia untuk ekspor dalam bentuk LNG pada 2016 anjlok hampir 48% ke US$ 4,52 per juta British Thermal Unit (MMBTU) MMBTU. Harga gas domestik dalam bentuk LNG juga turun 47,5% ke US$ 3,25 per MMBTU.

Potensi penurunan harga LNG di Indonesia kemungkinan semakin besar setelah Jepang memutuskan mengurangi impor energi sebesar 6,5%. Pasalnya, negara itu akan melakukan reaktivasi reaktor nuklirnya pascagempa 2011. Pasar Tiongkok sebenarnya masih besar. Namun, Indonesia sulit bersaing karena Rusia memiliki pipa gas yang langsung menuju negara tersebut.

Pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap berkurangnya permintaan bahan bakar dan jatuhnya harga minyak global. “Perlu hati-hati dalam membuat kontrak baru, jangan sampai malah membebankan Bontang karena harga beli rendah dan kendala pengiriman,” katanya.

Saat Bontang masih menunggu kontrak baru, pemerintah juga harus memberi perhatian terhadap proyek Blok Masela. Blok ini diprediksi akan memproduksi gas 9,5 metrik ton per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2027. Meski punya kapasitas tinggi, potensinya juga tidak cerah karena adanya proyek migas di negara tetangga.

Papua Nugini sedang mengebut mengerjakan proyek LNG. Dengan nilai investasi mencapai US$ 13 miliar, negara itu bermitra dengan Total SA, perusahaan asal Prancis. Target ekspor LNG-nya sebesar 16 juta ton. Pembangunan yang sedang digarap, antara lain ladang gas, saluran pipa, dan unit pencairan baru di sebelah barat Port Moresby. Poyek ini akan on-stream pada 2024, tiga tahun sebelum Blok Marsela resmi beroperasi.

Indonesia juga punya pesaing lain dari proyek Gorgon di Australia. Lapangan gas ini sudah beroperasi pada 2017. Operatornya terdiri dari konsorsium Chevron 47,3%, Exxonmobil 25%, Shell 25%, Osaka Gas 1,25%, Tokyo Gas 1%, dan JERA 0,417%. Kapasitas produksi LNG-nya mencapai 15,6 juta metrik ton per tahun.

“Kalau tidak ingin kehilangan momentum, SKK Migas harus cepat cari penggantinya (pembeli LNG Bontang) dan Blok Marsela jangan sampai mangkrak dari target,” kata Mamit.

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Halaman: