Pemerintah Didesak Batalkan Pengesahan RPP Pertambangan

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Ilustrasi. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak pemerintah membatalkan pembahasan sejumlah rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan dari pelaksanaan UU Minerba.
15/9/2020, 18.18 WIB

Gelombang protes terhadap penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara terus muncul. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mendesak pemerintah membatalkan pembahasan sejumlah rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai turunan dari pelaksanaan UU Minerba.

Ada tiga RPP yang saat ini tengah dibahas. Ketiganya adalah aturan tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, wilayah pertambangan, serta pengawasan reklamasi dan pascatambang.

Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menilai pembahasan aturan tersebut sebaiknya ditunda sampai proses judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi selesai. Gugatan undang-undang itu telah masuk ke MK pada pertengahan Juli lalu.

Pemerintah sebaiknya lebih cermat dalam proses penyusunan RPP karena proses hukum lain sedang berjalan. "Bisa dikatakan (RPP) itu akan mubazir jika judicial review dikabulkan," ujar Arip dalam diksusi secara virtual, Selasa (15/9).

Peneliti Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho menilai bahwa RPP turunan yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah sarat dengan polemik. Salah satu pasal yang bermasalah adalah terkait permohonan izin dan perubahan perpanjangan kontrak dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara atau PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK.

Dia menduga pembahasan RPP tersebut dikebut guna memfasilitasi PKP2B yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat. "Menteri ESDM punya beberapa staf khusus termasuk percepatan perbaikan tata kelola minerba," ujarnya.

Pemerintah sebaiknya menunggu hasil putusan MK atas UU Minerba terlebih dahulu sebelum membahas dan menetapkan PP turunannya. "Alangkah lebih bijak pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan PP ini," kata dia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaludin enggan berkomentar perihal penolakan RPP tersebut. Pesan singkat yang dikirimkan Katadata.co.id kepadanya hanya tercentang biru, namun tidak dijawab. Begitu pula dengan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial.

Sebelumnya, Ridwan sempat menyebut RPP mengenai pelaksanaan kegiatan usaha minerba sedang dibahas dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Perindustrian, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Lalu, RPP mengenai wilayah pertambangan serta RPP pengawasan reklamasi dan pascatambang masih dibahas secara internal.

RPP pelaksanaan kegiatan usaha tambang, berdasarkan dokumen yang beredar, mengatur pengelolaan mineral dan batu bara, pemberian perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batu bara, hak, kewajiban dan larangan pemegang perizinan berusaha, serta pengutamaan penggunaan mineral logam dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki cadangan sumber daya batu bara sebesar 147,6 miliar ton yang tersebar di 21 provinsi. Dari jumlah tersebut, sumber daya paling banyak terdapat di Sumatera Selatan, yakni 50,2 miliar ton, seperti terlihat pada grafi Databoks di bawah ini.

UU Minerba Dianggap Langgar UUD 1945

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerbat telah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 10 Juli lalu. Permohonan uji materi diajukan pimpinan kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) karena menganggap aturan itu meniadakan kewenangan daerah dan DPD.

Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengatakan UU Minerba menegasikan kewenangan pemeritahan daerah. Dalam aturan yang baru, seluruh kewenangan pertambangan ditarik ke pemerintah pusat. Karena itu, UU Minerba dianggap bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 serta semangat otonomi daerah.

"Kami mengajukan uji formil ini semata-mata ingin daerah dilibatkan dalam kewenangan pertambangan, apalagi urusan sumber daya alam ini sangat sensitif di masyarakat," ujar Erzaldi.

Pasal yang digugat yakni Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat", sementara ayat (5) berbunyi, "Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

UU Minerba juga dianggap melanggar ketentuan UUD 1945 karena tak melibatkan DPD. Hal ini bertentangan Pasal 22D UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

Deretan aturan itu menyebutkan DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD dianggap pelanggaran terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dan inkonstitusional. "(Pembahasan RUU Minerba) hanya sebatas meminta pandangan masukan. Di konstitusi diatur seharusnya DPD ikut membahas secara tuntas pada tingkat satu," kata Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD Alirman Sori.

Reporter: Verda Nano Setiawan