Pesatnya perkembangan energi baru terbarukan atau EBT membuat bisnis batu bara kian terancam. Perusahaan tambang mau-tak mau harus bertransformasi ke bisnis hijau.
PT Bukit Asam Tbk sedang memulai proses hilirisasi. Perusahaan akan bergerak di bisnis gasifikasi batu batu bara dan produk turunannya, seperti dimethyl ether alias DME. Kehadiran produk ini harapannya dapat menekan impor elpiji yang kerap membebani keuangan negara.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin menyebut hilirisasi menjadi langkah tepat agar perusahaan tambang dapat bertahan. “Kalau hanya menggali dan menjual, pasti sudah sunset (bangkrut). Kita tahu banyak negara sudah membatasi sumber energi batu bara ke pembangkit listriknya,” kata dia dalam acara Ulang Tahun ke-31 Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) secara virtual Rabu (30/9).
Dalam proyek coal to DME itu, Pertamina bakal menjadi pembeli gasnya. Ada pula investor pemilik teknologi gasifikasi tersebut. Seluruh pihak telah menandatangani perjanjian kerja sama pada 2019. Persiapan pembangunan pabrik, termasuk pra-konstruksi, tengah berlangsung. Targetnya, pada 2025 proyek ini mulai beroperasi.
Pada 2020, perusahaan berkode efek PTBA tersebut melakukan penyesuaian angka produksi batu baranya. Dari angka 30,3 juta ton menjadi 25,1 juta ton. Pemangkasan produksi ini dengan pertimbangan turunnya permintaan di tengah pandemi corona.
Pada semester I-2020, produksi batu bara Bukit Asam mencapai 12 juta ton. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya di 12,8 juta ton. Kapasitas angkutan batu baranya pada periode itu tetap sama, yaitu 11,7 juta ton.
Transformasi Perusahaan Batu Bara
Energi terbarukan menjadi tantangan yang harus dihadapi industri batu bara. Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono menyebut permintaan yang rendah saat ini sedang memukul energi fosil.
Dengan kondisi tersebut, ia mendorong perusahaan batu bara bertranformasi membuat produk turunan yang dapat bersaing dengan energi ramah lingkungan. Pengembangannya tentu banyak rintangan, terutama soal keekonomian produk.
Vice President Director PT Indika Energy Tbk Azis Armand mengatakan pentingnya penggunaan teknologi pengurang emisi di pertambangan. Terutama yang berkaitan dengan upaya-upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. "Banyak sekali di dunia ini referensi-referensi mengenai green mining atau penambangan hijau," kata dia.
Pemerintah berencana mengurangi pemakaian bahan bakar fosil. Targetnya, bauran energi baru terbarukan akan mencapai 23% di 2025. Kondisi ini akan membuat pemakaian bahan bakar minyak dan batu bara menurun, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Perusahaan energi global, BP, dalam laporannya memprediksi akan terjadinya pergeseran konsumsi energi. Pada 2050, sumber energi utama yang dikonsumsi berasal dari energi terbarukan, menggantikan minyak yang menjadi sumber utama pada 2018.
Di tahun itu, BP memperkirakan energi terbarukan (termasuk biofuel) akan mendominasi hingga 44% dalam skenario cepat (rapid). Sementara skenario net zero dan business as usual (BAU), konsumsi energi terbarukan mencapai 59% dan 22%. Padahal tahun 2018, energi tersebut hanya dikonsumsi 5% dibandingkan sumber energi lainnya.