Omnibus Law Ciptaker Disahkan, Ada Aturan Hilirisasi Batu Bara & Migas

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Mereka menolak Rancangan Undang-Undangan (RUU) Cipta Kerja karena dinilai lebih menguntungkan pengusaha.
Penulis: Sorta Tobing
5/10/2020, 20.26 WIB

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada siang tadi, Senin (5/10). Sebanyak tujuh dari sembilan fraksi sepakat menjadikan RUU itu menjadi Undang-Undang Cipta Kerja.

Aturan ini terbit untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di tengah persaingan global yang semakin kompetitif. "Negara perlu melakukan upaya memenuhi hak warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak," bunyi penjelasan pertama dalam RUU Cipta Kerja seperti ditulis, Senin (5/10).

UU sapu jagat itu merombak banyak hal demi kemudahan investasi seperti perizinan usaha, ketenagakerjaan, hingga perpajakan. Yang sekarang menjadi sorotan adalah soal pesangon, penghapusan upah minimum sektoral, hingga peran organisasi masyarakat pada sertifikat produk halal.

Di bidang energi dan sumber daya mineral atau ESDM, UU Cipta Kerja juga mengatur soal hilirisasi batu bara. Dalam Pasal 39 menyebutkan pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara bisa mendapatkan pengenaan royalti hingga 0%. Ketentuan ini akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Lalu, di bidang hilir minyak dan gas bumi (migas), pada pasal 46 tertulis pengawasan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan pengangkutan gas bumi melalui pipa dilakukan oleh badan pengatur.

Selain mengatur, tugas badan ini juga menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional, pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM, tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa, harga gas bumi rumah tangga dan pelanggan kecil, serta pengusahaan transmisi dan distribusi gas bumi.

Pemerintah dan DPR sepakat tidak jadi memasukkan beberapa aturan soal mineral dan batu bara alias minerba karena sudah ada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM urung memasukkan ketentuan mengenai badan usaha milik negara atau BUMN Khusus untuk melaksanakan kegiatan hulu migas dalam UU Cipta Kerja. Aturannya akan masuk dalam perubahan UU Migas yang dibahas di masa mendatang. BUMN Khusus ini rencananya akan menggantikan posisi SKK Migas.

Polisi mengenakan masker dan hazmat saat mengamankan demo buruh menolak RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR, Jakarta. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.)

Tentang UU Minerba dan RUU Migas

Salah satu yang menjadi sorotan dalam draf awal Omnibus Law Cipta Kerja adalah soal perpanjangan perjanjian karya pengelolaan batu bara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tanpa melalui mekanisme lelang. Pasal ini kemudian masuk dalam UU Minerba yang baru.

Pengesahan UU Minerba terbilang kilat. Panitia kerjanya terbentuk pada 13 Februari lalu. Dalam waktu tiga bulan mayoritas fraksi DPR lalu sepakat membuatnya menjadi undang-undang. Hanya Fraksi Demokrat yang menolaknya dan meminta pembahasan ulang.

Pemerintah saat ini sedang menyusun tiga aturan turunan dari undang-undang itu. Ketiga peraturan pemerintah atau PP ini masing-masing tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, wilayah pertambangan, serta pengawasan reklamasi dan pascatambang.

Protes pun bermunculan karena proses uji materi UU Minerba sedang berlangsung pula di Mahkamah Konstitusi. Peneliti Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho berpendapat RPP turunan yang tengah dibahas oleh pemerintah sarat dengan polemik.

Salah satu pasal yang bermasalah adalah terkait permohonan izin dan perubahan perpanjangan kontrak dari PKP2B menjadi IUPK. Dia menduga pembahasan RPP tersebut dikebut guna memfasilitasi PKP2B yang akan habis kontraknya dalam waktu dekat.

Pemerintah sebaiknya menunggu hasil putusan MK atas UU Minerba sebelum membahas dan menetapkan PP turunannya. "Alangkah lebih bijak pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan PP ini," kata dia.

Untuk revisi UU Migas, pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan. Padahal, undang-undang ini telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Pada akhir Agustus lalu, Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto mengatakan pemerintah belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah atau DIM.

Apabila pemerintah tak kunjung menyusun dan menyerahkan DIM RUU Migas, maka DPR akan menyerahkan naskah akademiknya ke pemerintah. Kondisi ini akan membuat revisi UU Migas tidak lagi menjadi insiatif DPR tapi menjadi inisiatif pemerintah. Nantinya, DPR yang akan menyiapkan dan menyusun DIM.

Reporter: Verda Nano Setiawan