Pertamina Klaim Ceceran Minyak di Pulau Pramuka Bukan dari Blok ONWJ

ANTARA
Kepulauan Seribu kembali tercemar tumpahan minyak mentah. Hingga saat ini, penyebab tumpahan minyak belum diketahui.
16/10/2020, 18.47 WIB

Pertamina Hulu Energi atau PHE memastikan tumpahan minyak yang ada di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakara, bukan karena kebocoran fasilitas migas miliknya. Perusahaan telah melakukan pengecekan ke sejumlah fasilitas anak usahanya, yaitu PHE Offshore North West Java (ONWJ) dan PHE Offshore Southeast Sumatera (OSES) di wilayah itu.

Corporate Secretary Pertamina Hulu Energi Whisnu Bahriansyah mengatakan pihaknya telah menerjunkan tim untuk melakukan pemeriksaan. Ceceran minyak dapat dipastikan bukan berasal dari Pertamina. “Kami tidak menemukan kebocoran. Jadi, itu bukan dari PHE," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (16/10).

Dari pantauan udara per tanggal 14 Oktober 2020, Pertamina menemukan sejumlah titik tumpahan minyak di sekitar Pulau Panggang, Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa. Titik itu berdekatan dengan jalur pipa fasilitas Zulu–Papa Blok ONWJ.

Belum jelas dari mana sumber tumpahan minyak itu. Namun, PHE ONWJ telah bergerak mengirim sejumlah kapal untuk membersihkan dan menghalaunya menuju pulau.

PHE ONWJ juga telah mematikan fasilitas Zulu sejak jam 17.00 WIB tadi untuk sementara waktu. Bersamaan dengan itu, perusahaan akan melihat kondisi perairan besok pagi. PHE OSES juga aktif melakukan pengecekan fasilitas di central business unit (CBU) dan sekitar Zelda Platform untuk memastikan apakah ada kebocoran pipa atau tidak.

Di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Tim PHE OSES juga melakukan pembersihan bersama perwakilan masyarakat setempat. Whisnu mengatakan perusahaan akan bertanggung jawab apabila hasil laboratorium menunjukkan adanya kebocoran dari fasilitasnya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Deputi SKK Migas Julius Wiratno justru tak mengetahui kejadian tersebut. Saat ini tidak ada laporan soal kebocoran dari Pertamina. Dugaannya, ceceran minyak itu berasal dari kapal yang melintas. "Kadang-kadang kapal melakukan pembersihan dan ada kotoran atau minyak yang tumpah ke laut," kata dia.

Kejadian serupa sebenarnya pernah terjadi pada Agustus lalu. Ada tumpahan minyak yang mencemari Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Namun, Vice President Relations PHE saat itu Ifki Sukarya membantah jika tumpahan disebabkan oleh fasilitas di Blok Offshore North West Java (ONWJ).

Perusahaan telah menutup sumur YYA-1 Blok ONWJ sejak 21 September 2019. "Sumur itu sudah berhasil kami kendalikan dan matikan. Sampai saat ini enggak ada masalah," ujarnya.

Divisi Pengkampanye Walhi DKI Jakarta Rehwinda Naibaho mengatakan pihaknya bersama warga Pulau Pari telah melaporkan kejadian itu ke Dinas Lingkungan Hidup atau DLH DKI Jakarta. Namun, sampai saat ini belum ada informasi terbaru lagi mengenai sumber ceceran minyak mentah. "Pihak Pertamina juga sudah membawa sampel. Tapi warga kemarin sempat tanya, belum ada kabar juga," kata dia.

Tragedi Tumpahan Minyak Blok ONWJ 2019

Peristiwa ini bermula pada 12 Juli 2019 sekitar pukul 01.30 WIB. Saat itu muncul gelembung gas di Anjungan YY dan Rig Ensco-67 Blok ONWJ di sumur YYA-1. Dua hari kemudian, seluruh pekerja di anjungan dievakuasi ke tempat yang aman. Lalu, pada 15 Juli 2019, PHE ONWJ menetapkan kondisi darurat.

Pada 16 Juli 2019 muncul lapisan minyak di permukaan laut. Tumpahan minyak kemudian semakin terlihat di sekitar anjungan dan mencapai ke pantai arah barat pada 18 Juli 2019.

Tumpahannya terus meluas hingga sebulan kemudian. Walhi ketika itu juga menemukan minyak dari Blok ONWJ sudah sampai ke Selat Sunda. Pada akhir Agustus, jumlah korban pencemaran yang sebagian besar nelayan mencapai 14.655 jiwa.

Pertamina akhirnya menutup sumur itu pada 21 September 2019 dengan dana US$ 10 juta (sekitar Rp 140 miliar). Perusahaan juga membayar kompensasi bagi warga di dua kabupaten yang terdampak tumpahan minyak sebesar Rp 900 ribu per bulan. Namun, proses ganti ruginya masih menunggu verifikasi data dari pemerintah kabupaten Karawang, Bekasi.

Tumpahan minyak ini dinilai merusak biota laut seperti ikan, rajungan, udang, dan kerang. “Perlu waktu satu hingga dua tahun untuk memulihkan dampak kerusakan lingkungan lautnya,” kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung pada akhir Agustus 2019.

Reporter: Verda Nano Setiawan