Program hilirisasi batu bara mulai memantik kontroversi. Proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi dimethyl ether atau DME itu dianggap tidak cocok sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum gas alias elpiji.
Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek itu terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.
Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan implementasi gasifikasi batu bara sesuai dengan arahan pemerintah. “Kami membangun industri gasifikasi ini dengan lebih dahulu melakukan studi kelayakan yang jadi dasar untuk mengerjakan proyek," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (11/11).
Pabrik gasifikasi batu bara itu bakal terletak di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Perusahaan dengan kode efek PTBA itu telah melakukan kesepakatan bisnis bersama Pertamina dan Air Products and Chemicals Inc asal Amerika Serikat pada bulan ini.
Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie C menyebut persiapan konstruksinya akan berlangsung pada awal 2021 dan pabrik beroperasi pada triwulan kedua 2024. Proyek hilirisasi ini merupakan mandat Presiden Joko Widodo dan bagian proyek prioritas dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020.
Pembangunan gasifikasi batu bara menjadi DME targetnya dapat mendatangkan investasi sebesar U$ 2,1 miliar atau setara Rp 32 triliun ke Indonesia. “Proyek ini juga memanfaatkan cadangan batu bara kalori rendah PTBA yang tidak dapat dijual,” kata Apollonius. Potensinya mencapai 180 juta ton selama 30 tahun.
Targetnya, pabrik gasifikasi dapat mengolah 6 juta ton batu bara per tahun untuk menjadi 1,4 juta ton DME. Pengurangan impor elpijinya mencapai 1 juta ton per tahun. “Pengurangan impor LPG itu menghemat cadangan devisa negara sebesar Rp 8,7 triliun per tahun atau Rp 261 triliun selama 30 tahun,” ucapnya.
PTBA juga menghitung dampak berganda lainnya dari proyek tersebut. Pemerintah mendapat Rp 800 miliar per tahun. Neraca perdagangan berkurang Rp 5,5 triliun per tahun. Tenaga kerja yang terserap saat tahap kontruksi mencapai 10.570 orang dan masa operasi 7.976 orang.
Dengan angka-angka itu tak heran pemerintah percaya diri memasukkan gasifikasi batu bara dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan, menurut pasal 39 undang-undang itu, perusahaan tambang yang melakukan hilirisasi dapat menerima royalti 0%.
Sebagai informasi, upaya hilirisasi batu bara merupakan program pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor dan subsidi elpiji. Selama ini elpiji 3 kilogram mendapat subsidi dari pemerintah. Jumlahnya sekitar Rp 42 triliun hingga Rp 55 triliun per tahun. Angka ini lebih besar ketimbang subsidi bahan bakar minyak, yaitu solar dan minyak tanah, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG pada 2020 telah mencapai 77,63% dari total kebutuhan nasional sebanyak 8,81 juta ton. Tanpa upaya hilirisasi batu bara, rasio angka impornya dapat naik menjadi 83,55% dari total kebutuhan 11,98 juta ton di 2024.
Proyek DME Butuh Investasi Jumbo
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan laporan IEEFA menunjukkan proyek hilirisasi batu bara bukan investasi yang murah. Laporan itu mengambil contoh kasus perusahaan Tiongkok.
Biayanya menjadi mahal terutama untuk penyediaan infrastruktur pipa gas. Perusahaan itu pun akhirnya mengalami margin kotor negatif seiring dengan penurunan harga DME.
Studi kasus tersebut memang perlu dilihat dengan cermat. Namun, proposal Bukit Asam mungkin kondisinya berbeda secara ongkos produksi dan infrastruktur. “Saya cenderung melihat pengembangan DME perlu dilakukan karena batu bara Indonesia melimpah dan penggunaannya lebih ramah lingkungan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat proyek gasifikasi sangat bergantung pada belanja modal dan pasokan batu bara. Kedua aspek itu yang kemudian menentukan harga produknya.
IEEFA menunjukkan biaya produksi DME sebesar US$ 470 per ton, sedangkan elpiji US$ 365 per ton. Biaya produksi dimethyl ether itu berdasarkan asumsi harga batu bara Indonesia sebesar US$ 37 per ton.
Harga batu bara acuan saat ini tertekan karena menurunnya permintaan di tengah pandemi Covid-19. Angkanya masih di atas US$ 50 per ton. Pada Oktober 2020, Kementerian ESDM mencatat harganya di US$ 51 per ton.
Fabby mengatakan proyek DME milik Bukit Asam awalnya digagas pada 2017 hingga 2018 lalu. Ketika itu harga elpiji sekitar US$ 550 hingga US$ 580 per ton. Pemerintah juga menghadapi kondisi defisit neraca perdagangan karena nilai impornya yang naik dari tahun ke tahun.
Namun, sejak awal tahun ini harga minyak dan produk turunannya menurun. “Dengan anjloknya harga LPG maka menjadi pertanyaan apakah proyek DME ini masih dianggap layak dan menguntungkan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat keekonomian proyek menjadi salah salah satu penghamat belum berkembangnya DME di Indonesia. Selain butuh investasi besar, harga jual produk dan pasarnya pun belum jelas.
Pemerintah memang memberikan insentif berupa royalti 0% untuk hilirisasi batu bara sesuai dengan UU Cipta Kerja. Harapannya, pemanis ini dapat membantu keekonomian dan mendorong investasi. “Saya kira kajian IEEFA tidak salah dengan kondisi saat ini karena memang investasi DME sangat mahal,” katanya.
Proyek Hilirisasi Ganggu Mafia Impor?
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi menilai merealisasikan proyek gasifikasi batu bara tidaklah mudah. Banyak tantangan karena berkaitan dengan upaya pemerintah menekan impor LPG. "Ada pihak yang kenyamanan terganggu karena pundi-pundi uangnya akan berkurang, bahkan hilang dari kebijakan-kebijakan strategis ini," kata dia.
Hal ini, menurut dia, terlihat dari kurang optimalnya proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi impor. Misalnya, pembangunan kilang minyak, pabrik pemurnian (smelter) tambang, dan energi terbarukan, yang masih minim progress pembangunannya.
Presiden Jokowi pada tahun lalu sudah teriak-teriak untuk memberantas mafia impor minyak dan LPG. Namun, hingga kini tidak juga terungkap, apalagi terselesaikan. "Dulu Ahok (Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama) diharapkan bisa mengurus ini. Nyatanya tidak ada perubahan," ucapnya.
Senada dengan pendapat itu, Mamit juga menilai ada pihak-pihak yang terganggu dengan rencana proyek gasifikasi tersebut. Apalagi saat ini impor LPG Indonesia luar biasa besar. "Saya kira pemerintah harus benar benar firm dalam menjalankan program ini. Kajian tetap harus dilakukan secara maksimal mengenai dampak dari DME," ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyampaikan DME merupakan bahan bakar yang dapat menggantikan elpiji. Pemerintah pun telah menghitung kebutuhan batu bara untuk memproduksi DME.
Setiap enam juta ton batu bara yang diubah menjadi DME dapat menurunkan impor elpiji sebesar 1 juta ton per tahun. Adapun cadangan batu bara Indonesia mencapai 20 miliar ton. Cadangan batu bara tersebut mayoritas berkalori yang rendah sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh pembangkit listrik.
Pemerintah menilai perlu memanfaatkan batu bara kalori rendah menjadi DME. "Kita punya batu bara yang pemanfaatannya belum jelas," ujar Dadan Kusdiana yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.
Kajian teknis produksi DME melalui batu bara terus pemerintah lakukan. Langkah ini sebagai upaya menyelaraskan kewajiban hilirisasi yang tertuang dalam UU Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara alias UU Minerba.