Bisnis Batu Bara Mulai Bertransformasi di Tengah Transisi Energi

123RF.com/Lorelyn Medina
Ilustrasi. Perusahaan batu bara mulai melakukan transformasi bisnis di tengah transisi ke energi bersih.
12/11/2020, 16.53 WIB

Penggunaan batu bara secara global bakal berkurang dalam beberapa tahun ke depan. Kesadaran dunia untuk melakukan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan atau EBT sedang berkembang pesat.

Badan Energi Internasional atau IEA dalam laporannya pekan ini menyebut pasokan pembangkit listrik energi terbarukan akan mencapai sepertiga listrik global di 2025. Kondisi tersebut bakal mengakhiri lima dekade kejayaan batu bara sebagai sumber energi dunia.

Tak hanya itu, beberapa lembaga keuangan dunia juga mulai menyetop memberikan pendanaan bagi proyek yang mendukung batu bara. Yang terbaru, Uni Eropa telah menyetujui peta jalan hijau sebesar 1 triliun euro untuk kelompok pemberi pinjaman di benua itu.

Dengan kebijakan tersebut, para pemberi pinjaman tak bisa lagi mendanai proyek berbahan bakar fosil yang tinggi emisi karbonnya. Langkah ini pula seturut dengan target Uni Eropa menjadi netral karbon pada 2050 untuk mencegah perubahan iklim.

Ruang gerak bisnis batu bara semakin terbatas. Mau-tak mau para produsennya melakukan transformasi. Salah satunya, perusahaan tambang pelat merah, PT Bukit Asam (Persero) Tbk atau PTBA.

Perusahaan pada tahun depan akan memulai proyek hilirisasi, yaitu bisnis gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Apollonius Andwie C menyebut persiapan konstruksinya akan berlangsung pada awal 2021 dan pabrik beroperasi pada triwulan kedua 2024.

Pabrik gasifikasi itu rencananya berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dan mengolah batu bara sebanyak 6 juta ton menjadi 1,4 juta ton DME. Ia mengatakan perusahaan sudah melakukan transformasi menjadi perusahaan energi yang peduli lingkungan sejak 2013.

Bukit Asam juga memiliki proyek hilirisasi lainnya, seperti coal to activated carbon, briket batu bara serta coal to chemicals yang menjadikan batu bara menjadi syngas untuk produk methanol dan hydrogen.

Selain itu, perusahaan juga melirik bisnis pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. Perusahaan telah membangun beberapa proyek serupa di atap gedung Airport Operation Control Center (AOCC) Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pembangkit ini dikelola PT Angkasa Pura II dengan menggandeng anak usaha PT LEN Industri, yakni PT Surya Energi Indonesia.

Apollonius mengatakan banyak tantangan menanti industri batu bara di masa depan. Apabila perusahaan hanya mengandalkan bisnis konvensional, maka sulit untuk bertahan. “Hilirisasi batu bara merupakan jawaban agar potensi batu bara Indonesia yang melimpah tetap dapat dioptimalkan menjadi produk bernilai tambah,” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (12/11).

Perusahaan tambang Grup Bakrie, PT Arutmin Indonesia, juga siap melakukan transisi tersebut. Setelah mendapatkan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK, perusahaan akan menjalankan kewajiban peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batu bara.

Ilustrasi batu bara. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani mengatakan perusahaan akan melakukan proyek gasifikasi. "Dengan tantangan-tantangan mulai dari keterbatasan teknologi, pembiayaan, sampai dengan insentif fiskal non fiskal serta offtaker produk akhir," ujarnya.

Kajian keekonomian untuk pengembangan bisnis tersebut sudah kelar. Rencananya, Arutmin akan memulai proyek gasifikasi batu bara pada tahun depan. Perusahaan juga telah melakukan penjajakan kerja sama dengan beberapa pihak terkait. 

Untuk mendapat kelayakan investasi dan keekonomian, perusahaan membutuhkan beberapa insentif tambahan berupa fiskal dan nonfiskal. "Royalti 0% banyak membantu. Namun, kami membutuhkan insentif lainnya. Saat ini kami terus berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," kata dia.

Dihubungi terpisah, Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan perusahaan telah memulai transformasi bisnis. Ada delapan pilar bisnis yang terintegrasi, yaitu Adaro Mining, Adaro Services, Adaro Logistics, Adaro Power, Adaro Land, Adaro Water, Adaro Capital dan Adaro Foundation.

Pilar-pilar bisnis non-batu bara akan terus memberi kontribusi stabil kepada Adaro Energi. "Kami juga telah melakukan diversifikasi dalam pilar Adaro Mining dengan masuk ke bisnis coking coal (batu bara kokas) yang akan terus kami kembangkan," kata dia.

Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono sebelumnya mengingatkan agar perusahaan batu bara dalam negeri dapat mulai bertransformasi. Tantangan industrinya akan semakin sulit seiring dengan gencarnya pengembangan energi baru terbarukan.

Ia mendorong agar batu bara dapat bertransformasi menjadi produk turunan yang dapat menyaingi energi bersih ke depannya. Namun, keekonomian dari produk tersebut menjadi tantangan tersendiri.

Karena itupemerintah memberikan royalti 0% untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di sektor pertambangan.

Ketentuan pembebasan royalti tercantum dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja. Pasal ini mengubah beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 beserta revisinya, Undang-Undang Nomor 3 Nomor 2020, tentang pertambangan mineral dan batu bara alias UU Minerba.

Dalam pasal itu, disebutkan pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Perlakuan tertentu tersebut dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ilustrasi tambang batu bara. (Donang Wahyu|KATADATA)

Hilirisasi untuk Pangkas Subsidi Elpiji

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan transformasi bisnis komoditas emas hitam menjadi suatu keharusan. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan tambang harus segera bertransformasi.

Pertama, sudah seharusnya batu bara menjadi modal dasar pembangunan nasional dan bukan hanya sebagai komoditas ekspor semata. Paradigma bisnis batu bara sebagai bisnis jual beli harus diubah.

Kedua, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi harus ditingkatkan dengan memanfaatkan batu bara untuk gasifikasi atau batu bara cair. Selain tumbuhnya industri baru, akan ada tambahan penerimaan negara, terbukanya lapangan kerja, dan tumbuhnya ekonomi di daerah dari kegiatan hilirisasi batu bara.

Ketiga, secara hukum, pengaturan mengenai kewajipan hilirisasi batu bara sudah ada. "Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Perindustrian, Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Cipta Kerja," ujarnya.

Pemerintah perlu memberikan insentif lainnya agar perusahaan tambang mau melakukan transformasi tersebut. Misalnya keringan royalti, pengurangan pajak, kemudahan pelayanan perizinan. Bagi perusahaan yang tidak melakukan transformasi diberi disinsentif, seperti kenaikan royalti dan pembebanan pajak.

Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso berpendapat langkah perusahaan batu bara ke energi baru terbarukan dan PLTS sebagai diversifikasi bisnis merupakan hal yang bagus. Namun, hal itu tak serta-merta langsung menggantikan batu bara.

Pemerintah sebaiknya mendorong batu bara tidak hanya untuk industri besar dan pembangkit listrik tenaga uap saja. Komoditas itu dapat menjadi bahan bakar industri menengah kecil dan rumah tangga, dalam bentuk briket atau upgrading brown coal.

Dengan begitu, dampak ekonominya lebih tinggi. “Pemerintah dapat menghemat devisa, mengurangi subsidi energi dan efek bergandanya lebih besar,” ucapnya.

Apalagi, kebutuhan elpiji atau liquefied petroleum gas (LPG) saat ini masih bergantung impor. Angkanya di 6 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya 1 juta ton. Budi berpendapat pemerintah dapat mengelola logistik batu bara sampai ke tingkat kecamatan, seperti stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU milik Pertamina.

Jika kebijakan tersebut dapat terimplementasi dengan baik, maka dampaknya akan cukup besar bagi keuangan negara. Berdasarkan hitung-hitungannya 1 kilogram elpiji setara dengan 3,5 Kg batu bara, sementara 1 liter solar setara dengan 3 kilogram batu bara.

Apabila sekitar 50% LPG diganti dengan batu bara, maka penghematan subsidinya mencapai Rp 30 triliun. Dengan asumsi biaya produksi briket sampai konsumen sekitar Rp 4 ribu hingga Rp 6 ribu per kilogram, lebih rendah dari harga elpiji bersubsidi 3 kilogram yang mecapai lebih Rp 7 ribu per kilogram.

APBI Dorong Pemerintah Susun Peta Jalan Hilirisasi Batu Bara

Direktur Eksekutif APBI Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan beberapa perusahaan batu bara sudah mulai mengarah ke proyek gasifikasi. Hal ini seiring dengan kepastian untuk berinvestasi melalui Undang-Undang Nomor 3 Nomor 2020, tentang pertambangan mineral dan batu bara alias UU Minerba.

Kemudian, ada pula komitmen pemerintah dalam UU Cipta Kerja melalui kebijakan royalti 0%. "Kondisi-kondisi ini membuat perusahaan-perusahaan bertransformasi ke arah sana,” katanya.

Para produsen saat ini menunggu dukungan insentif lainnya dari pemerintah agar proyek ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun sudah ada kebijakan royalti 0%, tapi merealisasikan program hilirisasi cukup sulit dan berbiaya tinggi. "Nanti harganya seperti apa, offtaker-nya seperti apa, konsistensi regulasinya seperti apa, banyak sekali. Ini langkah awal saja," ucapnya.

Selain itu, ia mendorong agar pemerintah membuat roadmap atau peta jalan pengembangan gasifikasi batu bara di Indonesia. APBI pun saat ini tengah menyusun peta jalan tersebut.

Setiap perusahaan persiapan proyek gasifikasinya berbeda-beda, maka penyusunannya pun harus spesifik. "Karena tidak semua perusahaan membangun gasifikasi. Kami ada seribu perusahaan. Bagaimana ini nanti yang kecil-kecil? Nah ini harus dibuat regulasi yang jelas," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan