Pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur, semakin tak jelas nasibnya. Pemerintah dan PT Freeport Indonesia kini berencana memindahkan proyek itu ke Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara.
Padahal sebelumnya, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu telah menemukan solusi agar smelter tetap terbangun. Caranya dengan menaikkan kapasitas produksi pabrik yang sudah ada, PT Smelting di Gresik, dari 1 juta ton menjadi 1,3 juta ton per tahun.
Sebagai gantinya smelter yang baru akan turun produksinya dari 2 juta ton menjadi 1,7 juta ton per tahun.
Kali ini Freeport berniat menggandeng perusahaan asal Tiongkok, Tsingshan Steel, untuk menggarap pabrik pemurnian tembaga di Halmahera. Nilai proyek ini mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25,5 triliun.
Rencana ini mendapat dukungan dari pemerintah. Menteri Koordinatir Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam wawancaranya dengan Asia Times, mengatakan kesepakatannya akan ditandatangani sebelum Maret 2021.
Tsingshan telah setuju akan menyelesaikan smelter itu dalam waktu 18 bulan. Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan kerja sama ini merupakan inisiatif pemerintah.
Kedua perusahaan masih melakukan pembahasan untuk pembangunannya. Ia tak merinci alasan pemindahan lokasi smelter tersebut. “Itu opsi dari pemerintah,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (1/12).
Saat dikonfirmasi soal ini, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin tidak merespons pesan singkat dan telepon Katadata.co.id. Begitu pula dengan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai Freeport telah lama melakukan pelanggaran hukum sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara alias UU Minerba berlaku.
Kini, UU Minerba baru telah berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, pelanggaran serupa masih terjadi. Freeport tak kunjung melaksanakan hilirisasi tambang, yaitu membangun smelter.
Yang lebih parah, menurut dia, pemerintah melakukan pembiaran. Tidak ada sanksi dan evaluasi. Padahal, negara telah menguasai 51% saham Freeport melalui PT Indonesia Asahan Aluminium alias MIND ID sejak dua tahun lalu. Bahkan DPR tak memakai hak istimewanya untuk melakukan koreksi. “Pemerintah dan DPR hanya berkoar-koar saja,” ujar Merah.
Dalam proses pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada 2018, pemerintah seharusnya dapat menahan kontrak Freeport sampai smelter baru terbangun. Perusahaan sejauh ini hanya mengobral komitmen. “Sekarang dia minta tunda lagi,” ucapnya.
Freeport sebelumnya telah menyurati Kementerian ESDM untuk mengajukan penundaan pilling test dan pile load test proyek smelter baru di Java Integrated Industrial and Port Estate atau JIIPE, Gresik, dari September menjadi November 2020. Perusahaan lalu melayangkan surat lagi pada 11 November. Isinya, Freeport telah memberikan notice to proceed kepada kontraktor proyek, Chiyoda, untuk mengerjakan pilling test.
Hilirisasi untuk Lawan Dominasi Tiongkok di Industri Baterai
Di balik aksi tarik-ulur pemerintah dan Freeport tak lepas dari ambisi mendorong industri kendaraan listrik domestik. Berkali-kali Luhut menyatakan ingin menjadikan Indonesia menjadi produsen baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik atau EV.
Alasannya, negara ini memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Komoditas tambang itu merupakan salah satu komponen utama dalam produksi baterai. Karena itu, sekarang tak ada lagi ekspor nikel. Pemerintah ngotot perusahaan tambang melakukan hilirisasi, melalui pembangunan pabrik pemurnian.
Tak heran apabila sekarang pemerintah mendorong Freeport bekerja sama dengan PT Tsingshan Steel. Perusahaan sebelumnya sudah memiliki pabrik smelter nikel di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Lalu, dua tahun lalu, perusahaan melakukan ekspansi ke Kawasan Industri Weda Bay. Nikel merupakan bahan baku utama baterai.
Tsingshan berdiri sebagai perusahaan patungan antara PT Bintang Delapan Mineral dengan Shanghai Decent Invesment. “Artinya, dia tidak 100% murni perusahaan Tiongkok,” kata Merah.
Di Weda Bay, ada tiga perusahaan lain yang membangun smelter, yaitu PT Weda Bay Nickel, PT Yashi Indonesia Investment, dan PT Youshan Nickel Indonesia.
Youshan Nickel Indonesia merupakan patungan antara Huayou Group dan Tsingshan Group. Perusahaan sedang merintis komponen baterai kendaraan listrik di sana. “Pemain baterai listrik orangnya itu-itu saja,” ujarnya.
Keberadaan perusahaan Tiongkok dalam industri ini tak terlepas dari posisinya sebagai produsen baterai terbesar di dunia. Negeri Panda tidak hanya menguasai teknologinya, tapi juga bahan bakunya.
Melansir dari VOA, pada 2019 perusahaan kimia Tiongkok menyumbang 80% dari total produksi bahan mentah dunia untuk baterai canggih. “Dari 136 pabrik baterai lithium-ion, 101 di antaranya berbasis di Tiongkok,” kata data Benchmark Mineral Intelligence.
Negeri Manufaktur itu mengontrol pemrosesan hampir semua mineral penting. Mulai dari logam tanah jarang atau rare earth, lithium, kobalt, dan grafit. Perusahaan asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technologi Co Ltd (CATL), saat ini merupakan produsen baterai listrik terbesar di dunia.
Pangsa pasar perusahaan yang berdiri pada 2011 itu mencapai 27,9% secara global. CATL memasok baterai untuk Tesla, Daimler AG, BMW, dan Toyota.
Selain nikel, pmbuatan baterai lithium juga bergantung pada bahan utama lainnya, yaitu grafit. Mineral ini biasanya ditemukan pada ujung pensil. Pada 2019, Tiongkok memproduksi lebih dari 60% grafit dunia. Artinya, Beijing dapat menetapkan harganya.
Begara lain sulit mengejar posisi tersebut. Bahkan Amerika Serikat diperkirakan butuh 20 hingga 30 tahun untuk menyusul Tiongkok.
Komoditas tambang lainnya yang tak kalah penting adalah kobalt. Mineral ini banyak dipakai dalam kendaraan listrik dan peralatan elektronik.
Tiongkok haya memiliki cadangan kobalt 1% secara global. Yang terbesar, mencapai 60% cadangan dunia, adalah Republik Demokratik Kongo. Sebanyak delapan dari 14 tambang kobalt di negara Benua Afrika itu milik perusahaan Tiongkok.
Pada 2016, Freeport-McMoran Inc menjual tambang kobaltnya di Republik Demokratik Kongo kepada China Molybdenum. Nilai transaksinya mencapai U$ 2,65 miliar.
Yang tak kalah krusial adalah mineral lithium. Lagi-lagi, Tiongkok tak punya pasokan banyak tapi menguasai 51% cadangan di dunia. Tambang lithium besar di Australia dan Chile telah dikuasai perusahaan Negeri Tembok Raksasa.
Ingkar Janji Freeport
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno belum mempelajari rencana pembangunan smelter Freeport dan Tsingshan Steel. Namun, pihaknya menyambut positif jika rencana tersebut terealisasi.
Rencananya, DPR akan mengadakan pertemuan pada pekan depan terkait proyek tersebut. “Kami akan mendalami lebih lanjut rencana inevstasi di Weda Bay tersebut di dalam RDP Komisi VII," kata dia.
Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi mengatakan dalam kesepakatan awal atau HoA dengan pemerintah, Freeport diberi perpanjangan IUPK asalkan membangun smelter. Secara hukum, apabila hal itu tidak terealisasi, maka perusahaan terbukti melanggar hukum.
Pemerintah perlu kosisten memastikan rencana tersebut terwujud. Freeport pun harus berkomitmen melaksanakan kewajibannya.
Pada 2014, Freeport sempat melaporkan progres pembangunan pabrik permuniannya untuk mendapatkan izin ekspor. “Tiba-tiba mereka tidak jadi membangun di Gresik. Ini bentuk manipulasi, hanya untuk mendapatkan izin ekspor konsentrat saja,” ujar Ahmad.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso sejak awal menyarankan supaya pembangunan smelter tidak harus dikerjakan oleh Freeport. Tetapi ada saja pihak-pihak yang selalu menekan supaya perusahaan yang membangun karena dapat dipergunakan sebagai alasan perpanjangan.
Proyek itu memang memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional. Namun, pemerintah sebenarnya telah kalah dalam bernegosiasi. “Ketidakmampuan Freeport membangun smelter seharusnya menjadi alasan pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak," katanya.
Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) mengtakan kerja sama Freeport dengan Tsingshan merupakan penyelesaian masalah hilirisasi tembaga. "Pak Tony Wenas (Direktur Utama Freeport Indonesia) sudah mengatakan kepada kami, tapi tidak menyebutkan nama perusahaannya dari Tiongkok," kata Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno.
Kondisinya saat ini membangun smelter tembaga sangat sulit. Amman Mineral, Djoko mengatakan, sedang mengkaji proyek serupa. Perusahaan diperkirakan dapat merugi. Pasalnya, biaya perawatan dan pemurnian alias treatment charge and refining charge (TCRC) sebagai sumber penghasilan utama smelter tembaga sangat rendah.
Plus-Minus Opsi Pembangunan Smelter Tembaga Freeport
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan saat ini sudah ada empat opsi untuk membangun smelter Freepor. Opsi pertama, membangun terpisah dengan PT Smelting. Kapasitasnya 2 juta ton per tahun.
Progres pembangunannya baru 5,86% pada 2020. Freeport berpendapat opsi ini tidak menguntungkan perusahaan. Masa operasi pabrik terlalu pendek untuk investasi sebesar US$ 2,5 miliar hingga US$ 3 miliar.
Lalu, muncul opsi kedua, yaitu ekspansi produksi PT Smelting sebesar 300 juta ton per tahun dan tetap ekspor 2,7 juta ton. Pilihan ini tidak sesuai amanah undang-undang. “Sebagian besar konsentrat masih tetap diekspor dan akan menimbulkan polemik berkepanjangan dalam negeri,” ucapnya.
Opsi ketiga, bekerja sama dengan Tsingshan membangun smelter di Weda Bay dengan kapasitas 2 juta ton. Menurut Rizal, pilihan ini lebih cocok karena waktu penyelesaian yang pendek.
Apalagi untuk pabrik pemurnian nikel di sana memakai teknologi hydrometallurgy. Teknologi ini membutuhkan asal sulfat yang biasa ditemukan pada smelter tembaga pada proses produksinya. “Kondisinya akan menguntungkan proyek smelter nikel dan biaya angkut yang lebih murah," kata Rizal.
Terakhir, ekspansi Smelting sebesar 300 juta ton per tahun dan Freeport membangun smelter baru sebesar 1,7 juta ton per tahun. Opsi ini dapat mengurangi biaya belanja modal perusahaan. Namun, perlu kajian lebih lanjut. “Baik dari segi kebutuhan capex dan lama produksinya,” ucapnya.