Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) dalam tekanan berat. Kinerja lapangan tua terus mengalami penurunan. Tanpa eksplorasi baru, produksinya sudah pasti akan turun.
Belum cukup sampai di situ, pandemi Covid-19 muncul. Banyak perusahaan energi internasional mengerem belanja modalnya. Investasi migas secara global tahun lalu turun 30%.
Indonesia masih cukup beruntung. Data SKK Migas menunjukkan investasi 2020 hanya turun 20%. Namun, banyak proyek besar yang masih terhambat pengerjaannya.
Masalah lainnya adalah sektor ini harus menghadapi persaingan ketat dari energi baru terbarukan atau EBT. BP, Shell, dan Total sudah menyatakan komitmennya untuk melakukan transisi tersebut dari energi fosil.
Dengan kondisi itu pemerintah perlu memperbaiki regulasi secara radikal. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan masih ada harapan di sektor hulu migas.
Potensi Indonesia masih sangat besar. Pemerintah perlu mengemasnya menjadi menarik di mata investor. “Buat investor nyaman dengan memberikan kepastian hukum dan pengembalian investasinya,” kata Mosche kepada Katadata.co.id, Selasa (12/1).
Insentif-insentif menarik perlu pemerintah berikan. Moshe juga mendorong pemerintah agar tidak ikut campur terkait teknis pengembangan dan pengelolaan lapangan migas.
Investor mengharapkan perizinan dan persetujuan rencana kerja dan budget dapat dipermudah. “Lalu, SKK Migas sifatnya hanya bertugas memantau agar para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tidak keluar dari aturan,” ucapnya.
Laporan Asia Times pada 5 Januari lalu menyebut lonceng kematian telah mendekati industri minyak dan gas RI. Selain kekurangan investasi asing, negara ini juga minim keahlian untuk menjaga agar produksi migas tidak merosot.
Kegiatan eksplorasi telah turun rata-rata 23% dalam satu dekade terakhir. Jumlah sumur eksplorasi anjlok dari 64 pada 2014 menjadi 26 sumur pada 2019. Tahun lalu jumlahnya hanya 18 sumur karena kegiatan eksplorasi menurun akibat pandemi virus corona.
Gelombang nasionalisme yang melanda industri ini dalam enam tahun terakhir telah membuat Indonesia berada di urutan terbawah untuk investasi migas. Pemerintah perlu mempertimbangkan perubahan paradigma besar. “Sebelum terlambat dan banyak sumber daya yang tersisa dibiarkan dalam tanah selamanya,” kata seorang ahli perminyakan Amerika Serikat yang berpengalaman di Indonesia kepada Asia Times.
Chevron telah mundur dari Blok Rokan, salah satu penyumbang produksi minyak terbesar di Indonesia. Pertamina akan menggantikannya pada Agustus nanti.
Lalu, ExxonMobil kemungkinan besar akan melakukan langkah serupa untuk Blok Cepu. Perusahaan kini fokus pada proyek lapangan gas raksasa di Australia dan Papua Nugini. Kepergiannya akan meninggalkan ENI, BP, dan ConocoPhillips sebagai perusahaan perminyakan yang aktif di Indonesia.
Inpex asal Jepang sedang kesulitan menemukan mitra untuk mengembangkan Lapangan Abadi Blok Masela. Partnernya, Royal Dutch Shell, memilih hengkang dari proyek tersebut. Padahal, blok ini merupakan satu dari empat pengembangan lapangan gas yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Tiga lainnya adalah proyek gas alam cair atau LNG Tangguh, Indonesia Deepwater Developement (IDD), dan Jambaran Tiung Biru. Pemerintah berharap keempatnya dapat merealisasikan target produksi gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.
Industri Hulu Migas Belum Capai Ambang Batas
Pengamat energi Salis S Aprilian berpendapat terlalu dini menganggap industri hulu migas telah mencapai ambang batas. Prinsip bisnis ini adalah minyak dan gas dapat diperoleh dari lapangan baru dengan cara lama, begitu pula sebaliknya.
Dengan keseriusan dan ketersediaan dana, potensi migas di Indonesia masih ada. “Setidaknya sampai puluhan tahun ke depan. Hanya, apakah ekonomis atau tidak?” ucap Salis.
Iklim investasi migas domestik terpengaruh isu kepastian hukum, aturan fiskal, cadangan dan prospek, dan risiko. Untuk faktor eksternalnya, industri migas Indonesia terpengaruh anjloknya harga komoditas karena pandemi, terjadinya kelebihan pasokan, dan kompetisi dari negara lain yang lebih menarik, seperti Vietnam dan Thailand.
Beberapa perusahaan migas pergi dari Indonesia lantaran portofolio mereka lebih menguntungkan di negara lain. Dengan sumber dana mereka yang mulai terbatas, mereka harus menghitung semua risikonya. "Terutama country risk, fiscal terms, dan prospek," ujarnya.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sebelumnya mengatakan kenaikan harga minyak mentah dunia akan semakin berat di tahun-tahun mendatang. Persaingan lintas energi, terutama dari energi baru terbarukan atau EBT, bertambah kompetitif.
Selain karena energi terbarukan, produksi shale oil di Amerika Serikat juga memicu tekanan tersebut. Dengan kondisi itu, ia pesimistis harga minyak akan kembali tinggi. “Akan ada keseimbangan baru ke depan,” katanya kemarin.
Indonesia masih memiliki 108 cekungan yang belum tereksplorasi. Potensi menemukan sumber migas jumbo terbuka lebar. “Masih banyak potensi dan kita butuh investor,” ujar Dwi.