Jelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat hari ini, Rabu (20/1), harga minyak dunia bergerak naik. Pelaku pasar optimistis dana stimulus akan mengalir lebih banyak pada pemerintahan baru negara itu.
Melansir dari Bloomberg, minyak berjangka Brent untuk pengiriman Maret naik 0,70% menjadi US$ 56,29 per barel pada pukul 11.00 WIB. Lalu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga naik 0,77% menjadi US$ 53,39 per barel.
Indeks utama Wall Street juga menguat usai calon Menteri Keuangan Janet Yellen mendesak anggota parlemen bertindak lebih besar pada paket bantuan Covid-19. Manfaatnya, menurut dia, jauh menguntungkan daripada biaya utang yang lebih tinggi.
Ia mengatakan banyak ekonom tak setuju dengan rencananya itu. “Tapi tanpa tindakan lebih lanjut, kita mengambil risiko resesi lebih lama dan menyakitkan serta menimbulkan luka jangka panjang terhadap ekonomi,” katanya semalam.
Pelaku pasar merespon ucapan itu dengan positif. “Investor memiliki harapan dari paket stimulus yang dijanjikan Biden (US$ 1,9 triliun atau sekitar Rp 26.728 triliun),” kata kepala riset minyak Rystad Energy Bjornar Tonhaugen.
Kenaikan harga minyak juga ditopang dari dolar AS yang melemah. Indeks dolar, yang diukur terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,26% menjadi 90,51 pada akhir perdagangan kemarin. Secara historis, harga minyak bergerak berbanding terbalik terhadap mata utang tersebut.
Pemulihan Permintaan Minyak Diperkirakan Kuartal II-2021
Investor juga optimistis permintaan akan naik dari Tiongkok, importir utama minyak mentah dunia. Data menunjukkan produksi kilang-kilang utama global naik 3% ke rekor tertinggi pada tahun lalu.
Perusahaan jasa energi Halliburton Co memprediksi pemulihan industri migas akan terjadi pada kuartal kedua 2021. Organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC pun yakin pasar energi akan pulih tahun ini.
Kelompok beranggotakan 13 negara itu memperkirakan permintaan minyak global pada 2021 akan meningkat 5,9 juta barel per hari dibandingkan 2020, menjadi 95,9 juta barel per hari. Pertumbuhan permintaannya pada 2020 turun 9,8 juta barel per hari dari tahun sebelumnya, menjadi 90 juta barel per hari.
Para produsen saat ini mencoba mengatur tindakan penyeimbang antara permintaan dan penawaran. “Risiko penurunan utama adalah masalah terkait langkah penanggulangan Covid-19 dan dampak pandemi terhadap perilaku konsumen,” tulis OPEC, dikutip dari CNBC beberapa waktu lalu.
OPEC berharap pemulihan kegiatan ekonomi dapat terjadi tahun ini. Dengan begitu pasar tenaga kerja dan penjualan kendaraan turut membaik.
Untuk 2021, organisasi itu bersama Rusia dan sekutunya alias OPEC+ sepakat menurunkan produksi menjadi 7,2 juta barel per hari. Arab Saudi telah setuju memotongnya 1 juta barel per hari pada Februari sampai Maret untuk mencegah kelebihan stok.