Kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) terus menyisakan kontroversi. Implementasi dari aturan tersebut, bahkan telah membuka ruang kriminalisasi melalui ketentuan pasal 162.
Pasal 162 UU Minerba melarang setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai pasal tersebut sebagai pasal karet. Pasal ini dapat mengkriminalisasi siapa saja yang menolak adanya kegiatan pertambangan. Tidak terkecuali masyarakat di lokasi tambang yang terganggu dengan adanya aktivitas pertambangan di daerahnya.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang mengatasnamakan Gerakan #BersihkanIndonesia mengajukan uji materil atau judicial review (JR) UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin ini. Pengajuan judicial review ini didasari atas keberadaan sejumlah pasal bermasalah dalam UU No. 3 Tahun 2020.
Substansi pasal-pasal yang dipersoalkan berkaitan dengan: sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan Minerba; jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang; perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang; serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya di pembangkitan.
Uji Materil ini diajukan oleh dua warga dan dua lembaga masyarakat sipil yakni WALHI Nasional dan JATAM Kaltim. Dua warga tersebut adalah Nurul Aini (46), perempuan petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Yaman, pemuda nelayan Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung.
Yaman menjadi salah satu korban kriminalisasi akibat kebijakan UU Minerba. Melalui pasal karet tersebut Yaman dianggap telah menghalangi kegiatan pertambangan.
Dia diketahui menolak operasi pertambangan di Bangka Belitung yang dinilai akan merusak biota laut dan mempengaruhi ruang tangkap nelayan di wilayah Belitung. "Kalau bisa UU ini dibatalkan karena sangat memberatkan nelayan pasal 162," katanya dalam diskusi secara virtual, Senin (21/6)
Sementara Nurul Aini, yang juga menjadi salah satu korban kriminalisasi, telah mendapat berbagai intimidasi selama ini karena sikapnya yang menolak adanya kegiatan pertambangan. Intimidasi salah satunya berasal dari preman bayaran perusahaan tambang.
"Rumah saya mau dibakar. Saya sering diintimidasi preman yang dibayar oleh perusahaan. Yang jelas saya menolak tambang di wilayah Tumpang Pitu," katanya.
Menurut dia penolakan aktivitas tambang yang ada di wilayah Tumpang Pitu bukan tanpa sebab. Hal ini lantaran kegiatan pertambangan di wilayah tersebut dapat merusak lingkungan dan alam sekitar.
Untuk itu, Aini meminta agar Presiden Joko Widodo dapat turun tangan mengatasi persoalan tersebut. Mengingat kehidupan masyarakat di wilayah Banyuwangi sudah nyaman sebagai petani dan nelayan.
"Tidak mengharapkan tambang. Jadi prinsipnya kita bisa hidup tanpa emas tapi tidak bisa hidup tanpa air," katanya.
Lasma Natalia, penasehat hukum penggugat mengatakan, pada usia Jokowi yang beranjak 60 tahun, ia berdoa agar Sang Presiden bisa kembali ke jalan yang lurus dan mampu melihat lebih terang. Bahwa dampak industri pertambangan hulu dan hilir sudah mengerikan.
“Cara yang paling ringan untuk bisa mewujudkan itu adalah dengan mencabut UU Minerba. UU yang disahkan itu hanya akan melegitimasi perampasan hidup rakyat dan perusakan lingkungan di hulu dan hilir sektor minerba,” kata Lasma.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan UU Minerba adalah gambaran utuh oligarki yang telah menguasai kebijakan negara. Pengesahan di tengah rakyat sedang dicekik krisis dan pandemi, batas antara penguasa dan pengusaha dalam proses lahirnya perundang-undangan semakin kabur, yang justru terlihat menyatu oleh kepentingan bisnis.
"UU ini sangat terlihat dibuat untuk memenuhi kepentingan tambang dan menyingkirkan hak warga negara yang dijamin konstitusi," katanya.