Tekan Tagihan Listrik, PLN Minta IPP Tunda Operasi Komersial PLTU

Arief Kamaludin|KATADATA
PLTU Suralaya. PLN meminta produsen listrik swasta mengundur jadwal operasi sejumlah PLTU untuk sedikit meringankan beban tagihan listrik dalam skema take or pay.
31/8/2021, 19.53 WIB

PLN meminta produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) memundurkan target commercial operation date (COD) sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tujuannya untuk menekan beban tagihan pembelian listrik melalui sistem take or pay.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Syahril menyebutkan, selain memundurkan target operasi pembangkit, PLN meminta IPP menurunkan capacity factor (CF) PLTU. Beberapa IPP telah menyetujui rencana tersebut.

"Alhamdulillah amendemen COD PPA PLTU Jawa Tengah Batang sesuai hasil kesepakatan hasil Konbers telah ditandatangani, dihadiri oleh Presdir BPI Yasuhiro Koide, Dirkeu BPI Vivi Simampo, dan Dir. Jamali Haryanto beserta Tim Konbers," kata Bob kepada Katadata.co.id, Selasa (31/8).

Pasalnya, tagihan pembelian listrik PLN dari IPP melalui kebijakan ini terus melonjak setiap tahun. Bahkan, tahun ini nilainya diprediksi menembus Rp 100 triliun. Ini membuat keuangan perusahaan setrum pelat merah ini tertekan, apalagi pertumbuhan konsumsi listrik nasional saat ini rendah imbas pandemi Covid-19.

Sementara itu, kebijakan dari skema take or pay mewajibkan PLN membayar listrik secara penuh sesuai kontrak, sekalipun serapan listrik di masyarakat belum optimal.

PLN sebelumnya juga akan melakukan negosiasi ulang kontrak dengan IPP, untuk menghindari pembayaran denda kontrak skema take or pay. Pasalnya, pandemi menyebabkan turunnya beban di sejumlah wilayah di Indonesia akibat anjloknya konsumsi listrik, yakni dari sisi penjualan kilowatt hour (KWh).

Namun hingga kini langkah tersebut belum terealisasi. Simak pertumbuhan produksi listrik nasional pada databoks berikut:

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nurhayatin Finahari mengatakan renegosiasi kontrak merupakan skema business to business (B-to-B). Sehingga bukan menjadi urusan pemerintah. "Tolong tanya ke PLN. Renegosiasi kontrak urusannya sudah B-to-B," ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai kondisi PLN saat ini serba sulit. Pasalnya, pertumbuhan konsumsi listrik yang diproyeksikan pada level tertentu ternyata tidak tercapai karena ekonomi juga mengalami kontraksi.

Sementara proyek penyediaan listrik sulit untuk ditunda karena akan berbiaya mahal. Akibatnya sistem Jawa-Bali dan sistem Sumatera saat ini mengalami kelebihan pasokan. Sedangkan regulasi yang ada menempatkan PLN sebagai pembeli tunggal.

Menurut Komaidi dalam banyak hal, kebijakan pemerintah sering tidak utuh, dan tidak memperhitungkan dampak terhadap sektor lainnya. Jadi, hanya melihat dan bagus pada satu aspek namun risiko lain seringkali tidak dikalkulasi.

"Saran saya jika memungkinkan agar IPP dalam batasan tertentu bisa menjual ke konsumen lain ketika sistem PLN sudah berlebih," kata Komaidi. Menurutnya dengan kondisinya saat ini, PLN akan sulit bertahan tanpa intervensi dari pemerintah. Apalagi saat ini PLN memiliki utang yang sangat besar. Dapat dilihat pada databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan