Sistem Take or Pay Lambungkan Tagihan Listrik dan Cadangan Daya PLN

Image title
30 Agustus 2021, 18:14
listrik, pln, take or pay
ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.
Sejumlah pekerja memperbaiki jaringan listrik di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (25/5/2021).

Kebijakan take or pay tak hanya membuat tagihan pembelian listrik PLN dari produsen swasta (independent power producer/IPP) membengkak. Hal ini juga melambungkan cadangan daya PLN hingga mencapai 50%.

Vice President Public Relations PLN Arsyadani Ghana Akmalaputri menjelaskan peningkatan biaya pembelian listrik dari pihak swasta ini sebenarnya sejalan dengan bertambahnya pembangkit listrik yang mulai beroperasi. Terutama dari proyek penugasan pemerintah 35 ribu megawatt (MW).

"Ini menyebabkan pasokan daya listrik terus bertambah dan cadangan daya PLN hingga sampai saat ini telah mencapai 50%," ujar Arsya kepada Katadata.co.id, Senin (30/8).

Oleh sebab itu, PLN tengah berusaha meningkatkan permintaan listrik dan melakukan berbagai efisiensi biaya. "Kami terus berkomunikasi dengan pemerintah untuk membantu dalam meningkatkan permintaan listrik," ujarnya.

Tagihan pembelian listrik dari IPP tahun ini diperkirakan lebih Rp 100 triliun, jauh di atas dua tahun sebelumnya sebesar Rp 83 triliun. Kondisi pandemi pun telah berdampak pada pertumbuhan dan kemampuan PLN menyerap listrik.

Beberapa upaya yang dilakukan PLN untuk menggenjot permintaan listrik seperti mengakuisisi captive power, pengembangan kawasan, electrifying agriculture, dan meningkatkan penetrasi mobil listrik.

Sementara untuk menekan biaya yang membengkak, PLN terus berkonsultasi dengan IPP, perencanaan terpusat, dan digitalisasi pembangkit listrik. Di samping itu, "PLN optimistis dengan adanya cadangan listrik hingga 50%, setidaknya dapat dimaksimalkan untuk pelanggan yang ingin mengembangkan kegiatan bisnis ke depan," ujarnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kondisi keuangan PLN cukup mengkhawatirkan. Apalagi di tengah pertumbuhan konsumsi listrik yang sangat rendah ditambah kelebihan pasokan listrik di wilayah Jawa-Bali.

Meskipun, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dari PLTU batu bara masih murah dibandingkan yang lain yakni sekitar Rp 700-900. Namun, stagnannya kebutuhan dan adanya skema TOP ini akan memberatkan PLN.

"Saya mengharapkan dukungan dari pemerintah kepada PLN dalam menjaga likuiditas keuangan mereka. Pemerintah dapat membayarkan dana kompensasi dan subsidi kepada PLN tepat waktu, sehingga PLN bisa tetap stabil secara keuangan," ujarnya.

Selain itu, ia berharap pemerintah mau membantu PLN untuk renegosiasi skema TOP dengan para IPP. Kemudian di tengah kondisi pasokan berlebih saat ini pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat terkait dengan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tanpa merugikan PLN dari sisi pendapatan.

Pasalnya salah satu poin yang ada dalam draft RUU EBT mewajibkan PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan dari energi baru terbarukan. "Saat ini masyarakat kita masih belum siap dengan energi mahal. Dampaknya nanti negara juga yang akan menanggung dengan dana kompensasi yang harus dibayarkan," ujar Mamit.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai skema pembelian listrik dari pihak swasta melalui kebijakan tersebut cukup mengerikan. Pada 2019 misalnya, total pembayaran ke sejumlah IPP yang didominasi batu bara mencapai Rp 83,56 triliun.

"Kemudian pada 2020 mencapai Rp 98,65 triliun dan 2021 diperkirakan mencapai Rp 102-103 triliun itu adalah beban yang luar biasa," ujarnya dalam diskusi Bincang-bincang METI, Jumat (27/8).

Oleh sebab itu, ia menduga ketika pendapatan PLN berkurang karena masifnya penggunaan PLTS atap. Maka mereka-mereka yang selalu dibayar oleh PLN dengan harga tinggi ini yang mulai khawatir karena penetrasi PLTS atap semakin besar.

Fabby pun prihatin melihat kondisi keuangan PLN saat ini, terlebih di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 tidak ada kenaikan tarif listrik.

Ia heran kenapa PLN masih saja menggunakan skema ini. Padahal take or pay dengan kontrak jangka panjang selama 30 tahun itu merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada tahun 1992.

"Di negara lain kontrak PLTU tidak ada yang sampai 30 tahun. Kenapa gak 20 tahun. Tapi hal-hal ini saya kira ini sesuatu yang perlu direvisi. Ini kita perlu mendorong untuk PLN melakukan renegosiasi," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...