Harga Batu Bara Tembus US$ 150/Ton Didorong Permintaan Tinggi Tiongkok

ANTARA FOTO/Aji Styawan
Ilustrasi. Harga batu bara pada September naik US$ 19,04 per ton dibandingkan HBA Agustus 2021 sebesar US$ 130,99 per ton.
Editor: Agustiyanti
7/9/2021, 08.04 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan (HBA) Indonesia pada September 2021 sebesar US$ 150,03 per ton. Angka tersebut naik US$ 19,04 per ton dibandingkan HBA Agustus 2021 sebesar US$ 130,99 per ton.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESD Agung Pribadi mengatakan, kenaikan HBA dipengaruhi oleh permintaan dari Tiongkok yang tinggi. Faktor lainnya, yakni meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam.

"Ini adalah angka yang cukup fenomenal dalam satu dekade terakhir," kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (7/9).

Menurut Agung faktor-faktor tersebut  telah mendorong harga batu bara global ikut terimbas naik dan mencatatkan rekor dari bulan ke bulan. Harga batu bara sempat melandai pada Februari-April 2021, tetapi mencatatkan kenaikan beruntun pada periode Mei-Juli 2021 hingga menyentuh angka US$ 115,35 per ton di Juli 2021. Kenaikan tersebut terus konsisten hingga September 2021 yang mencatatkan rekor tertinggi baru.

HBA adalah harga yang diperoleh dari rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%. Terdapat dua faktor turunan yang mempengaruhi pergerakan HBA yaitu, permintaan dan penawaran.

Faktor penawaran dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal. Sedangkan faktor permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.

Adapun HBA September ini akan dipergunakan pada penentuan harga batu bara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).

PT Adaro Energy Tbk optimistis permintaan batu bara untuk sektor kelistrikan masih memiliki prospek cerah sekalipun dunia tengah bertransisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, banyak proyek PLTU di Asia yang saat ini masih dalam tahap konstruksi.

Sekretaris Perusahaan Adaro Mahardika Putranto menyadari aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan dan target netral karbon akan berpengaruh pada permintaan batu bara secara global. Namun dengan banyaknya PLTU yang masih dibangun, tingkat permintaan batu bara masih akan tetap tinggi.

"Dengan kebutuhan listrik dan baja yang masih naik seiring naiknya pertumbuhan ekonomi, peningkatan batu bara masih akan solid dan batu bara masih akan mendominasi negara negara Asia," ujarnya, dalam paparan publik secara virtual, Senin (6/9).

Ia mencontohkan kondisi di Vietnam. Aktivitas impor batu bara oleh negara tersebut dipekirakan akan terus mengalami kenaikan karena masih ada 7,3 gigawatt (GW) PLTU baru yang akan beroperasi hingga 2025. Sementara, di Indonesia kapasitas terpasang PLTU saat ini telah mencapai 27 GW, dan masih akan bertambah sebesar 15 GW.

Rencana Tiongkok untuk menggenjot gas dan energi terbarukan dalam kelistrikan, menurut dia, juga kemungkinan tidak terlalu signifikan menurunkan permintaan batu bara. Simak negara-negara dengan kapasitas PLTU terbesar di dunia pada databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan