Bea Cukai Akui Masih Ada Ekspor Bijih Nikel 4,6 Ton Pada 2020-2021

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Ilustrasi ekspor.
15/10/2021, 11.11 WIB

Bea Cukai mengakui masih terdapat ekspor bijih nikel Indonesia pada periode 2020 dan 2021. Namun, mereka mengklaim ekspor tersebut bukan untuk tujuan komersil, melainkan untuk pengujian sampel di luar negeri.

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu, Syarif Hidayat menjelaskan berdasarkan penelusurannya, data ekspor bijih nikel dan konsentrat pada 2019 mencapai 32,2 juta ton. Ini sebelum pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor nikel.

Kemudian pada tahun 2020 tercatat sebesar 3,6 ton, dan tahun 2021 hanya 1 ton. "Ekspor di tahun 2020 dan 2021 ada sedikit, diberitahukan sebagai sampel untuk pengujian di luar negeri, no commercial value," kata Syarif kepada Katadata.co.id, Jumat (15/10).

Menurut Syarif, jumlah ekspor bijih nikel pada 2020 telah menurun drastis seiring diterapkannya kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019. Dalam ketentuan tersebut, ekspor bijih nikel dilarang, namun terdapat beberapa pengecualian.

Pengecualian tersebut yaitu bijih nikel digunakan sebagai barang contoh uji mineral dalam rangka kerja sama penelitian; barang contoh yang tidak untuk diperjualbelikan; barang pameran, barang pribadi penumpang, barang awak sarana pengangkut, barang pelintas batas, dan barang kiriman; benda seni atau kerajinan; dan produk industri yang seluruh bahan bakunya berasal dari skrap.

Oleh sebab itu, Bea Cukai akan menjalin komunikasi dengan General Administration of China Customs (GACC). Terutama untuk mengkonfirmasi temuan oleh ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri.

"Kami akan segera melakukan komunikasi dengan General Administration of China Customs (GACC) untuk mengkonfirmasi kebenaran pernyataan tersebut," ujarnya.

Sebelumnya, Faisal Basri menyatakan telah menemukan adanya kebocoran ekspor bijih nikel ke Cina pada 2020 sebesar Rp 2,8 triliun, berdasarkan data GACC. Nilai tersebut setara dengan 3,4 juta ton bijih nikel.

Data tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan pemerintah melalui BPS yang menunjukkan bahwa sepanjang 2020 sudah tidak ada lagi ekspor bijih nikel. Artinya ada ketidaksesuaian antara data resmi pemerintah Indonesia dan Cina.

"Kemarin masih ada 3,4 juta ton bijih nikel diimpor dari Indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, US$ 193,6 juta atau Rp 2,8 triliun. Bisa dihitung potensi kerugian negara karena transaksi ini," ujarnya dalam CORE Media Discussion Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan, Selasa (12/10).

Padahal menurut dia, kalau pemerintah mempunyai niat untuk melacak potensi kebocoran ekspor ke Negeri Panda ini sangatlah mudah. Pemerintah dapat menghitung kapasitas produksi smelter dalam negeri, kemudian kebutuhan normalnya berapa dan besaran potensi pembelian bijih nikel dari para pengusaha smelter.

"Dia beli untuk proses produksi atau jangan-jangan sebagian dia jual ke luar, nah ini kita hitung. Kemudian kita jumlahkan, kalau saya dari awal lima tahun terakhir kerugian negara sudah ratusan triliun," katanya. Simak databoks berikut:

Reporter: Verda Nano Setiawan