Pelaku usaha di sektor migas global menginginkan agar Indonesia dapat menyeragamkan proses birokrasi lintas kementerian. Hal ini untuk mendorong minat investasi migas di tanah air demi menggenjot produksi, mengingat jarak antara target produksi dan konsumsi yang terus melebar.
Presiden ExxonMobil Indonesia, Irtiza Sayyed mengatakan bahwa sebagai International Oil Company (IOC) ada beberapa faktor yang mempengaruhi minat investasinya di Indonesia. Salah satunya yakni mengenai proses birokrasi lintas Kementerian di Indonesia yang masih belum seragam.
Menurut dia kemudahan administrasi dan tidak adanya tumpang tindih kebijakan lintas kementerian dapat sangat mempengaruhi minat para investor.
"Kami menemukan dari waktu ke waktu ada tantangan terutama ketika kita bekerja dengan beberapa Kementerian project-project kami tidak hanya melibatkan satu Kementerian," kata dia dalam The 9 th US-Indonesia Investment Summit, Rabu (15/12).
Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit, Albert Simanjuntak menilai guna mendongkrak investasi yang lebih atraktif, maka solusi yang diberikan pemerintah jangan hanya solusi jangka pendek. Namun solusi secara jangka panjang yang butuh komitmen dari semua pihak.
Selain itu, dia berpedapat bahwa pemerintah sebaiknya tidak hanya memperhatikan investasi di masa mendatang saja. Namun para pelaku usaha migas yang saat ini sudah beroperasi di Indonesia juga tetap diberikan perhatian agar keekonomian yang didapat masih sesuai.
"Tidak hanya investasi masa mendatang yang harus dilindungi. Tetapi investasi yang sekarang beroperasi juga harus dilindungi," katanya. Simak realisasi investasi migas hingga kuartal III 2021 pada databoks berikut:
Seperti diketahui, hengkangnya ConocoPhillips memperpanjang daftar perusahaan migas kakap yang keluar dari Indonesia. ConocoPhillips sepakat untuk melepas aset migasnya di Indonesia kepada PT Medco Energi Internasional. Sebelumnya Chevron keluar dari proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) tahap II.
Dengan hengkangnya beberapa perusahaan tersebut, posisi Indonesia dinilai akan semakin sulit untuk merealisasikan target produksi minyak 1 juta barel per hari (BPH) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) gas pada 2030.
Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto sebelumnya mengatakan untuk dapat mencapai produksi di angka tersebut, secara hitung-hitungan Indonesia memerlukan tambahan produksi dari lapangan migas skala besar.
"Yang di dalam kenyataan umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh para major International Oil Company (IOC)," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (9/12).
Menurut Pri, angka 1 juta barel per hari produksi minyak belum cukup layak untuk disebut sebagai target, sebab detail program kerja yang dipaparkan sampai saat ini masih belum jelas. "Termasuk akan dari lapangan mana produksi itu dihasilkan, berapa produksinya, kapan waktunya dan oleh siapa," katanya.
Selain itu, Pri menilai sudah lebih dari satu dekade iklim investasi hulu migas RI juga kalah kompetitif dibandingkan negara lain. Terutama dalam menarik investasi-investasi skala besar dari para perusahaan migas kelas kakap.
"Ditinggalkan tidak selalu karena tidak ekonomis, tetapi karena kalah kompetitif dengan portofolio investasi dan kesempatan investasi para IOC majors itu di tempat lain," ujarnya.