Untuk sebagian besar Asia Tenggara, lebih dari 60% output berasal dari blok yang telah matang yang telah memproduksi lebih dari 50% kandungan migasnya. Volume dari blok-blok tersebut kemungkinan akan mengalami penurunan yang konsisten selama beberapa tahun ke depan.

Sehingga pada 2030 diperkirakan 60% produksi kemungkinan berasal dari proyek-proyek yang saat ini masih berada pada tahap keputusan investasi pra-final (FID). Akibatnya, kekuatan pendorong di belakang prospek hulu kawasan ini adalah keputusan terhadap pengembangan lapangan baru.

Adapun tahun 2020 menjadi mimpi buruk adalah tahun mimpi buruk bagi aktivitas migas di Asia Tenggara. Sebab hanya ada enam proyek pengembangan yang mencapai keputusan investasi final (FID) dengan total cadangan 300 juta barel setara minyak (boe).

Namun kondisi membaik pada 2021. Lebih dari 10 proyek yang berhasil mencapai FID dengan cadangan sekitar 750 juta boe dengan nilai investasi mencapai US$ 3 miliar. Adapun 85% dari investasi tersebut dikontribusikan oleh Malaysia.

Rystad memprediksi aktivitas eksplorasi migas pada 2022 berada pada level yang sama dengan tahun ini, dengan FID yang direncanakan pada sekitar 800 juta boe cadangan di kawasan Asia Tenggara, di mana 60% proyek berada di Indonesia dan 35% di Malaysia.

Namun, proyek FID yang direncanakan pada 2022 mungkin masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan persetujuan akhir. “Regulasi harga gas domestik Indonesia tetap menjadi perhatian bagi sebagian besar pengembangan gas besar di jalur pipa,” tulis laporan Rystad.

Asia Tenggara juga diperkirakan tidak mengalami peningkatan belanja yang substansial tahun depan. Investasi diproyeksikan berkisar antara U$ 15-20 miliar (Rp 213-285 triliun) yang didorong oleh peningkatan aktivitas pengeboran di blok matang di Indonesia dan Thailand.

Halaman: