Dengan demikian, menurut dia, dibutuhkan larangan sementara untuk semua pengapalan ekspor muatan batu bara. "Kita perlu kapal dan tongkangnya disetop. Karena begitu kita pakai kecuali, orang jago cari celahnya. Tapi saat semua ditutup, hasilnya positif," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VII Maman Abdurrahman tak sependapat dengan kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM. Menurut dia, banyak pelaku usahay yang tidak melanggar aturan Domestic Market Obligation (DMO).
Ia menilai, pemberian sanksi bagi perusahaan yang telah memenuhi komitmen DMO akan memberi dampak buruk bagi Indonesia di mata internasional. Padahal, kondisi kenaikan harga batu bara menjadi kesempatan besar untuk meningkatkan pendapatan negara. "Boleh melarang, tapi lihat dong masak orang orang yang memang sudah memenuhi kebutuhan domestik, kok dilarang juga," ujarnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengapresiasi langkah yang diambil Kementerian ESDM dalam mengamankan pasokan energi di dalam negeri. Ia menilai kerugian sosial ekonominya akan jauh lebih besar dibandingkan cuan yang diterima negara dari hasil penjualan batu bara jika terjadi pemadaman massal.
"Bisa chaos ekonomi politik sehingga potensi kerugian negara juga lebih besar dibanding cuan yang diperoleh dari ekspor batu bara itu," ujarnya.