Lebih lanjut, kata Moshe, sejumlah perusahaan minyak dan gas lebih menyukai harga yang tidak terlalu tinggi tapi stabil. Hal tersebut dirasa lebih mudah dalam memprediksi situasi pasar dan perencanaan investasi.

“Menurut pengalaman kami, setinggi-tingginya naiknya harga, jauh lebih sakit saat harga turun. Jadi investor itu gak suka-suka banget sama harga tinggi karena pas jatuh itu lebih dramatis. Jadi perusahaan migas juga melihat kondisi ke depan dan berhati-hati dalam berinvestasi. Kenaikan harga minyak juga merupakan hal yang sementara,” ujarnya.

Saat ini, walau harga minyak dan gas melonjak, para perusahaan masih ‘wait and see’ dalam melakukan perburuan lokasi investasi. Moshe berujar, adanya sejumlah kenaikan investasi saat ini diakibatkan oleh adanya pelonggaran lockdown pandemi Covid-19.

Kegiatan dan bisnis travel sudah mulai bergeliat dan pergerakan masyakrat sudah lebih leluasa. Dengan begini, Pemerintah dirasa perlu melakukan perombakan dalam upaya menggandeng investor.

“Hal seperti itu bukan berarti Indonesia akan bangkit lagi dan bisa mengangkat produksinya jauh di atas 750.000 BOPD, karena dari sisi investasi masih ‘wait and see’,” tukasnya.

Kementerian ESDM menargetkan investasi sektor migas pada 2022 sebesar US$ 17 Miliar. Angka ini naik 1,13% dibandingkan target 2021 sebesar US$ 16,81 miliar. Target tersebut terdiri dari investasi hulu US$ 12,872 miliar dan investasi hilir sebesar US$ 4,128 miliar.

"Untuk hilir kami perhatikan karena meski kecil-kecil menjadi backbone bagi perekonomian," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji beberapa waktu lalu.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu