Pemerintah mendorong pengembangan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl eter atau DME. Tujuannya untuk menggantikan konsumsi LPG 3 kilogram (kg) sehingga dapat mengurangi impor dan beban subsidi LPG yang terus meningkat setiap tahun.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W. Yudha mengatakan bahwa pemerintah perlu memformulasikan harga DME yang tepat agar besaran kompensasi yang harus dibayarkan tidak membengkak.
“Harga DME di Indonesia fluktuatif sekali, spreadnya cukup lebar dengan LPG. Maka formulasi harga DME perlu kita rumuskan agar tidak berfluktuasi seperti ini," ujarnya dalam diskusi publik Keekonomian Gasifikasi Batu Bara, Kamis (7/4).
Karena kalau harganya terlalu berfluktuasi, lanjut Satya, khususnya yang nanti akan menggantikan LPG subsidi, maka kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah menjadi sangat besar.
Menurut Satya acuan harga DME di Indonesia tidak bisa seperti di Cina yang saling beriringan antara harga DME dengan harga LPG. “Nanti akan ada formulasi harga DME yang akan kita kaji dari waktu ke waktu dan saya yakin nanti dari Kementerian ESDM akan memformulasikan.
Sebelumnya Ekonom Senior Faisal Basri juga menilai proyek hilirisasi batu bara menjadi DME pada akhirnya akan membebani APBN. Sebab, untuk mengolah batu bara menjadi DME ongkos produksinya cukup mahal. Walaupun dia juga menyadari proyek ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah impor LPG yang terus meningkat.
"(Proyek DME) Melawan kodrat, batu bara yang hitam gosong diolah jadi gas yang sangat bersih. Pasti ongkos produksinya akan amat mahal dan siap-siap sisihkan subdisi APBN," kata Faisal beberapa waktu lalu, Rabu (27/1).
Senada, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai rencana pemerintah mengembangkan proyek DME dinilai tak akan mudah. Sebab, proyek ini masih belum ekonomis atau mahal untuk diimplementasikan.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan proyek ini tak mudah untuk direalisasikan. "Terutama karena faktor keekonomiannya, mengingat investasi yang dibutuhkan berskala besar dan jangka panjang," ujarnya kepada Katadata.co.id akhir tahun lalu, Jumat (19/11/2021).
Meski demikian APBI mendukung proyek gasifikasi batu bara sebagai salau satu upaya pemerintah dalam mencapai target net zero emission atau netral karbon.
Menurut dia ada beberapa faktor yang mempengaruhi keekonomian proyek DME, salah satunya teknologi yang saat ini belum dimiliki Indonesia yang akan membuat harga jualnya menjadi mahal.
Kemudian dari segi pengapian dan efisiensi, gasifikasi batu bara menjadi DME ini sekitar 70% menggunakan LPG. Sedangkan saat ini harga jual LPG masih dipatok oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum.
Sehingga jika skenario harga jualnya masih tetap seperti ini, dikhawatirkan keekonomian untuk investasinya jadi lebih berat. Untuk diketahui, sejauh ini hanya Cina yang telah memproduksi DME karena faktor cadangan batu bara yang melimpah.
"Mengenai harga jual, hingga saat ini belum ada harga patokan global sehingga investor harus berpikir keras untuk masuk (ke proyek ini) tanpa mengetahui model ekonominya," ujarnya.