Pemerintah tengah menggodok aturan perpajakan baru untuk sektor batu bara yang salah satunya mengatur tentang royalti atau dana hasil produksi batu bara (DHPB). Adapun pembahasan mengenai tarif royalti sudah selesai dan menunggu tanda tangan menteri terkait.
Asisten Deputi Pertambangan Kemenko Maritim dam Investasi, Tubagus Nugraha mengatakan tarif royalti baru yang disepakati bersifat progresif. Tarif royalti berlaku bagi para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang izinnya diperpanjang menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Ex PKP2B nanti akan disebagai kewajiban pembayaran royalti sesuai kalorinya dan HBA (harga batu bara acuan). Jadinya progresif, semakin tinggi HBA maka nilai royalti semakin besar. Ini lagi proses penetapan, sudah tahap paraf menteri. Ya tinggal menunggu saja sudah dikirim ke Setneg,” ujarnya dalam Indonesia Mining Forum, Rabu (13/4).
Direktur Eksekutif Asosiasi Penambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengatakan pihaknya mendukung soal pemberlakukan tarif royalti. Proses tersebut sudah berjalan sejak 2018 namun implementasinya belum berjalan karena masih terjadi tarik-menarik antara pelaku usaha dengan pemerintah terkait besaran tarif.
“Kami dukung royalti progresif cuma besarannya itu pasti ya pemerintah maunya lebih tinggi sebagai pemasukan negara, sementara usulan harga dari kami dirasa pemerintah masih terlalu kecil. Jadi ya tarik-menarik di situ. Kami saran besarannya masih dalam batasan perusahaan,” kata Hendra.
Sebelumnya pelaku usaha pertambangan batu bara mengusulkan tarif royalti sebesar 14% hingga maksimal 20%. Pada akhirnya pengusaha batu bara sepakat pemberlakuan tarif royalti secara berjenjang atau progresif. Angkanya disesuaikan dengan level atau tingkat harga tertentu dengan mempertimbangkan harga komoditas yang fluktuatif.
Hendra mengatakan besaran royalti disepakati progresif mempertimbangkan kondisi perusahaan batu bara, terutama ketika harga turun. “Jika tarifnya ditetapkan sangat tinggi, maka produsen batu bara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti,” katanya beberapa waktu lalu, Selasa (9/2).
Pemegang IUPK operasi produksi (OP) perpanjangan PKP2B adalah perusahaan pertambangan yang beroperasi lebih dari 20 tahun, bahkan ada yang hampir 30 tahun.
Ada tiga karakteristik tambangnya. Pertama, sebaran cadangan batu baranya mulai terbatas sehingga sulit memilih lokasi yang ekonomis. Kedua, cadangannya lebih dalam dan jauh sehingga semakin besar biaya produksinya.
Ketiga, lokasi pembuangan lapisan tanah penutupnya semakin jauh dan butuh biaya tinggi juga. Kondisi itu merupakan proses alami. Biaya produksi semakin tinggi seiring dengan kondisi tambang yang menurun.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara (minerba), pemerintah akan menaikkan tarif royalti PKP2B yang diubah statusnya menjadi IUPK OP. Tarif yang lama sekitar 13,5%. Kenaikan ini bertujuan menambah penerimaan negara sambil tetap memperhatikan kepentingan pelaku usaha.