Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menaikkan tarif royalti timah yang nantinya akan dikenakan secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Ridwan Djamaluddin mengatakan kenaikan tarif royalti didasari pada harga jual timah di pasaran. Sejak tahun 2015 hingga 2022, rata-rata harga timah murni batangan di pasar internasional berada di angka US$ 22.693 per ton.
Adapun di tahun 2022, harganya berada di US$ 41.256 per ton. Angka ini lebih tinggi 36,60% dari tahun sebelumnya yang berada di harga US$ 30.207 per ton "Harganya naik turun, berfluktuasi," kata Ridwan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (21/6).
Ridwan menjelaskan, saat ini aturan tarif royalti timah diatur dalam PP No. 81 Tahun 2019 dengan skema flat (tetap) 3%. Dalam paparannya, Ridwan menjeskan bahwa penerimaan negara dari royalti timah terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2019, negara memperoleh royalti sebesar Rp 609 miliar. Jumlah ini terus meningkat dalam dua tahun selanjutnya. Pada tahun 2020 dan 2021, total royalti yang diperoleh negara dari komoditas timah masing-masing mencapai Rp 545 miliar dan Rp 1,17 triliun.
Ridwan menambahkan, angka kenaikan tarif royalti yang baru akan didiskusikan lebih lanjut dengan para pelaku usaha agar menguntungkan kedua belah pihak. "Diharapkan penerimaan negara dari komoditas timah juga meningkat," sambung Ridwan.
Tahun ini pemerintah menargetkan produksi timah sebesar 70 ton. Adapun hingga Mei 2022, produksi timah menyentuh angka 9.654,73 ton, dengan penjualan mencapai 9.629,68 ton.
Langkah Kementerian ESDM untuk menaikkan tarif royanti komoditas timah didukung oleh Komisi VII DPR. Dalam draft kesimpulan RDP, Komisi VII sepakat agar tarif royalti timah saat ini sebesar 3% dilakukan penaikan tarif secara progresif agar penerimaan negara dari pertambangan timah dapat meningkat.