Pernah Capai US$24 Miliar Setahun, Ini Penyebab Investasi Migas Anjlok

medcoenergi
Ilustrasi. Investasi migas pada semester I 2022 turun menjadi US$ 4,8 miliar dari sebesar US$ 4,92 miliar pada semester I 2021.
12/7/2022, 18.22 WIB

SKK Migas mencatat torehan investasi pada kegiatan hulu migas pada sementer I tahun ini senilai US$ 4,8 miliar atau Rp 72 triliun dengan kurs saat ini. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 4,92 miliar.

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto juga mengatakan bahwa capaian tersebut relatif kecil di tengah momentum tingginya harga minyak mentah dan gas dunia.

Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro menilai minimnya investasi migas lantaran iklim investasi yang tidak menarik di mata para investor. Oleh karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama bagaimana pemerintah dapat membuat hulu migas Indonesia menarik lagi di mata investor.

“Kepergian pemain migas raksasa seperti Chevron, ConocoPhillips, dan Shell dari tanah air juga menjadi pertimbangan para investor untuk menanamkan modalnya. Salah satu alasan mereka pergi yakni punya opsi investasi di tempat lain yang lebih menarik,“ ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (12/7).

Komaidi menceritakan bagaimana investasi migas di Indonesia membuncah pada masa bonanza minyak medio 1980 hingga 1990. Dia menyebut investasi migas pada era kejayaan minyak mencapai US$ 24 miliar per tahun.

“Secara historis sempat dikisaran US$ 12 miliar per semester. Karena saat itu cadangan sangat besar dan iklim investasinya berada di bawah kendali atau koordinasi dari presiden langsung,“ ujarnya.

Komaidi menjelaskan, saat masa Orde Baru, investasi di sektor hulu migas seperti persoalan perizinan dan insentif pajak langsung ditangani oleh PT Pertamina. Kondisi yang demikian dinilai sebagai faktor pemikat para investor. “Kan waktu itu Pertamina bertanggungjawab secara langsung kepada presiden saat itu,“ ujar Komaidi.

Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan, pemerintah harus membenahi aturan main di sektor hulu migas agar kondisinya lebih sehat dan stabil. Seperti jaminan yang harus dikatakan oleh pemerintah untuk tidak mengubah regulasi di tengah pengerjaan proyek.

Ia mencontohkan soal pengaturan dan skema produksi Blok Masela yang awalnya diproduksi di laut kemudian diubah ke darat. Menurutnya, hal itu mengubah keseluruhan proyek yang berimbas pada disinsentif yang besar yang menyebabkan Shell hengkang dari proyek itu.

“Kemudian, dalam aspek bagi hasil yang sebelumnya modelnya cost recovery murni di tengah jalan diubah. Karena diubah di tengah jalan oleh pemerintah, ukuran dan risikonya menjadi tidak terprediksi lagi karena segala sesuatu sangat dinamis,“ tukas Komaidi.

Pemerintah pun dinilai tak serius dalam memperbaiki iklim investasi migas. Pasalnya, revisi Undang-undang Migas hingga kini belum juga selesai. Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengatakan, sikap tak serius pemerintah ditunjukkan dengan menarik bab khusus migas, yang sebelumnya tertulis di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

“Waktu membahas UU Cipta Kerja, ada klausul revisi UU Migas dari pemerintah yang disebut akan merevisi dan membentuk badan pengganti SKK Migas. Pada akhirnya, pemerintah menarik bab terkait revisi UU Migas,“ kata Mulyanto beberapa waktu lalu, Rabu (15/6).

Ia menyampaikan, anggota Komisi VII mendorong pembahasan revisi UU Migas rampung tahun ini. Namun, hal ini tertunda karena tiap komisi di DPR hanya diberikan jatah satu rancangan undang-undang untuk diajukan ke rapat paripurna.

Jatah tersebut sudah digunakan untuk meloloskan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) ke rapat paripurna pada Selasa (14/6). RUU EBET dikabarkan akan disahkan menjadi UU sebelum pelaksanaan puncak G20 di Bali pada November.

“Komisi VII selesaikan RUU EBET. Kalau sudah selesai, baru masuk ke revisi UU Migas,” ujar Mulyanto.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu