BPK: PLN Kurang Mitigasi Risiko Penyerapan LIstrik, Bebannya Rp 4,5 T

Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu
PLTU Tanjung Jati.
Penulis: Yuliawati
6/10/2022, 16.43 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat permasalahan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan independent power plant (IPP) yang menggunakan skema take or pay. Skema ini membuat PLN wajib mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

BPK menyebut PLN belum optimal dalam menurunkan tarif dan memitigasi risiko penyerapan tenaga listrik di bawah batas minimum dalam skema take or pay tersebut. Sehingga kondisi ini membuat PLN gagal berhemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik pada 2020 sebesar Rp 4,52 triliun.

Temuan BPK tersebut termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1 2022. BPK merekomendasikan Direksi PT PLN menyusun pedoman terkait penentuan tarif tenaga listrik secara umum, termasuk untuk pembangkit Energi Baru dan Terbarukan, untuk keperluan masa mendatang. Selain itu menginstruksikan EVP IPP dan EVP Perencanaan Sistem lebih optimal menindaklanjuti rekomendasi BPK.

"Rekomendasi BPK dalam LHP sebelumnya yaitu mengupayakan energy make up untuk memanfaatkan energi yang tidak terserap dalam skema take or pay kontrak pembelian listrik IPP," dikutip dari laporan tersebut, Kamis (6/10).

Adapun humas PLN belum memberikan komentar terkait laporan IHPS ini. 

PLN  terikat perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan pengembang listrik swasta (IPP), khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.

Namun, pasokan listrik itu melebihi jumlah yang terjual ke pelanggan sehingga tak terpakai atau oversupply. Meski begitu, karena kontrak PLN dan IPP menggunakan skema take or pay, PLN membayar produksi listrik swasta.

Jika merujuk ke laporan Statistik PLN 2021, kondisi oversupply ini memang sudah terlihat setidaknya sejak sembilan tahun terakhir.

Selama periode 2013-2021 total pasokan listrik PLN (yang diproduksi sendiri plus dibeli dari pihak lain) jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu-30 ribu GWh ketimbang total listrik yang terjual, dengan rincian seperti terlihat pada grafik berikut ini:

 


Saat ini kelebihan pasokan atau oversupply listrik sebesar 6-7 gigawatt (GW). Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah pernah menyatakan setiap 1 GW listrik, beban yang harus dibayar Rp 3 triliun.

Untuk mengatasi oversupply listrik, pemerintah menggagas penggunaan kompor listrik mulai dari pelanggan kategori 450 VA. Namun, rencana ini kandas.

Salah satu penyebab kelebihan pasokan ini adalah megaproyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW), atau 35 gigawatt (GW).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW pada Mei 2015. Program ini merupakan salah satu sasaran Nawacita, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor setrategis khususnya kedaulatan energi.

Pemerintah meluncurkan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 8%. Namun hingga saat ini target pembangunan tersebut tak terealisasi.

Apalagi saat masa pandemi Covid-19, permintaan listrik lesu karena industri mengurangi proses produksi. Dotambah masuknya sejumlah pembangkit listrik baru, pasokan listrik pun melimpah.

Reporter: Abdul Azis Said